Rabu, 21 Januari 2009

RPP Indonesia

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

NAMA SEKOLAH : SMA Plus Pagelaran
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : X
SEMESTER : I

A. STANDAR KOMPETENSI
Mendengarkan :1. Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung /tidak langsung

B. KOMPETENSI DASAR
1.1 Menanggapi siaran atau informasi dari media elektronik (berita dan nonberita)

C. MATERI PEMBELAJARAN
Siaran (langsung) dari radio/ televisi, teks yang dibacakan, atau rekaman berita/ nonberita
· Pokok-pokok isi berita
· Menanggapi isi berita

D. INDIKATOR
· Menuliskan isi siaran radio/televisi da­lam beberapa kalimat dengan urutan yang runtut dan mudah dipahami.
· Menyampaikan secara lisan isi berita yang telah ditulis secara runtut dan jelas
· Mengajukan pertanyaan/ tanggapan berdasarkan informasi yang didengar (menyetujui, menolak, menambahkan pendapat)

E. TUJUAN PEMBELAJARAN
· Menuliskan isi siaran radio/televisi da­lam beberapa kalimat dengan urutan yang runtut dan mudah dipahami.
· Menyampaikan secara lisan isi berita yang telah ditulis secara runtut dan jelas
· Mengajukan pertanyaan/ tanggapan berdasarkan informasi yang didengar (menyetujui, menolak, menambahkan pendapat)
· Menanggapi Berita dengan menggunakan alasan dan bahasa yang rasional dan logis

F. METODE PEMBELAJARAN
· Penugasan
· Diskusi
· Tanya jawab
· Unjuk kerja
· Ceramah
· Demonstrasi




G. LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
Kegiatan Awal
· Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini
· Membentuk kelompok diskusi

Kegiatan Inti
Mendengarkan berita tentang bencana alam ( Misal: Gunung Merapi Yogyakarta, gempa dan tsunami Acaeh)*
Menuliskan isi berita dalam beberapa kalimat
Menyampaikan secara lisan isi berita secara bergantian
Mendiskusikan isi berita

Kegiatan Akhir
· Refleksi
· Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini

H. ALOKASI WAKTU
4 X 40 Menit

I. SUMBER BELAJAR/BAHAN
Radio /tape
Televisi
CD salinan berita atau kaset rekaman

J. PENILAIAN
Jenis Tagihan :
Tugas Individu
Ulangan
Bentuk Instrumen:
Uraian bebas
Pilihan ganda
Jawaban singkat


Cisalak, Juli 2008
Mengetahui
Kepala SMA Plus Pagelaran




Dandy S Muhyiddin, S.Si.M.T

Guru Mata Pelajaran




Drs. Cecep Subyadi







RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

NAMA SEKOLAH : SMA Plus Pagelaran
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : X
SEMESTER : I

A. STANDAR KOMPETENSI
Mendengarkan : 1. Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung /tidak langsung

B. KOMPETENSI DASAR
1.2 Mengidentifikasi unsur sastra (intrinsik dan ekstrinsik) suatu cerita yang disampaikan secara langsung/ melalui rekam­an

C. MATERI PEMBELAJARAN
· Rekaman cerita, tuturan langsung (kaset, CD, buku cerita)
· Unsur intrinsik (tema, alur, konflik, penokohan, sudut pandang, amanat)
· Unsur ekstrinsik (agama, politik, sejarah, budaya)

D. INDIKATOR
Menyampaikan unsur-unsur intrinsik ( tema, penokohan, konflik, amanat, dll.)
Menanggapi (setuju atau tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang disampaikan teman
Menyampaikan unsur-unsur ekstrinsik (nilai moral,kebudayaan, agama, dll.)
Menanggapi (setuju atau tidak setuju) unsur-unsur ekstrinsik yang disampaikan teman

E. TUJUAN PEMBELAJARAN
· Menyampaikan unsur-unsur intrinsik ( tema, penokohan, konflik, amanat, dll.)
· Menyampaikan unsur-unsur ekstrinsik (nilai moral,kebudayaan, agama, dll.) yang terkandung di dalam cerita yang disajikan disertai contoh kutipannya
· Menanggapi (setuju atau tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang disampaikan teman dengan menggunakan bahasa yang santun dan efektif

F. METODE PEMBELAJARAN
· Penugasan
· Diskusi
· Tanya jawab
· Unjuk kerja
· Ceramah
· Demonstrasi




G. LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
Kegiatan Awal
· Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini

Kegiatan Inti
· Mendengarkan cerita daerah tertentu (Misalnya: Si Kabayan, Roro Jonggrang, Malin Kundang)*
· Mengidentifikasi unsur intrinsik dan ekstrinsik
· Menyampaikan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik
· Diskusi dan Tanya jawab

Kegiatan Akhir
· Refleksi
· Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini

H. ALOKASI WAKTU
4 X 40 Menit

I. SUMBER BELAJAR/BAHAN
Buku Cerita /kaset
LKS : Tim. Bahasa Indonesia SMA X. Sukoharjo: Pustaka Firdaus.
Buku Pendamping : Syamsuddin A.R. Kompetensi Berbahasa dan sastra Indonesia Kelas X. Surakarta : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2006

J. PENILAIAN
Jenis Tagihan :
Tugas Individu
Ulangan

Bentuk Instrumen:
Uraian bebas
Pilihan ganda
Jawaban singkat


Cisalak, Juli 2008
Mengetahui
Kepala SMA Plus Pagelaran




Dandy S Muhyiddin, S.Si.M.T

Guru Mata Pelajaran




Drs. Cecep Subyadi






RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

NAMA SEKOLAH : SMA Plus Pagelaran
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : X
SEMESTER : I

A. STANDAR KOMPETENSI
Berbicara : 2. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi melalui kegiatan berkenalan, berdiskusi, dan bercerita

B. KOMPETENSI DASAR
2.1 Memperkenal-kan diri dan orang lain di da­lam forum resmi dengan intonasi yang tepat

C. MATERI PEMBELAJARAN
Contoh kalimat untuk memperkenalkan diri dan orang lain di dalam forum resmi
· Penggunaan sapaan
· Penggunaan diksi
· Penggunaan struktur kalimat

D. INDIKATOR
· Mengucapkan kalimat perkenalan (misalnya, sebagai moderator dan atau pembawa acara) dengan lancar dan intonasi yang tidak monoton
Menggunakan diksi (pilihan kata) yang tepat
Menanggapi kekurangan yang terdapat pada pengucapan kalimat perkenalan oleh teman
Memperbaiki pengucapan kalimat yang kurang sesuai

E. TUJUAN PEMBELAJARAN
Siswa dapat :
· Mengucapkan kalimat perkenalan (misalnya, sebagai moderator dan atau pembawa acara) dengan lancar dan intonasi yang tidak monoton
Menggunakan diksi (pilihan kata) yang tepat dan sesuai dengan kondisi.
Menanggapi kekurangan yang terdapat pada pengucapan kalimat perkenalan oleh teman
Memperbaiki pengucapan kalimat yang kurang sesuai

F. METODE PEMBELAJARAN
· Penugasan
· Diskusi
· Tanya jawab
· Unjuk kerja
· Ceramah
· Demonstrasi



G. LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
Kegiatan Awal
· Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini

Kegiatan Inti
· Mengamati moderator atau pembawa acara dalam diskusi atau suatu kegiatan langsung atau tak langsung langsung (dilakukan di rumah, di kelas, atau di luar kelas)
· Berperan sebagai moderator atau pembawa acara atau yang memperkenalkan diri sendiri dan pembicara dalam diskusi.
· Menanggapi kekurangan pada pengucapan kalimat perkenalan yang dilakukan oleh teman

Kegiatan Akhir
· Refleksi
· Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini

H. ALOKASI WAKTU
4 X 40 Menit

I. SUMBER BELAJAR/BAHAN
· Buku teks yang terkait
· Buku pendamping : (1) LKS : Tim. Bahasa Indonesia SMA X. Sukoharjo. Pustaka Firdaus.
· Buku Pendamping : (2) Syamsuddin A.R. Kompetensi Berbahasa dan sastra Indonesia Kelas X. Surakarta : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2006
· Media Cetak /elektronik/CD
· Tuturan langsung

J. PENILAIAN
Jenis Tagihan :
Tugas Individu
Ulangan

Bentuk Instrumen:
Uraian bebas
Pilihan ganda
Jawaban singkat


Cisalak, Juli 2008
Mengetahui
Kepala SMA Plus Pagelaran




Dandy S Muhyiddin, S.Si.M.T

Guru Mata Pelajaran




Drs. Cecep Subyadi

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

NAMA SEKOLAH : SMA Plus Pagelaran
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : X
SEMESTER : I

A. STANDAR KOMPETENSI
Berbicara : 2. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi melalui kegiatan berkenalan, berdiskusi, dan bercerita

B. KOMPETENSI DASAR
2.2 Mendiskusikan masalah (yang ditemukan dari berbagai berita, artikel, atau buku)

C. MATERI PEMBELAJARAN
Teks berita, artikel, buku yang berisi informasi aktual (misalnya, AIDS/HIV, SARS, bencana alam)
· Penentuan masalah dalam berita
· Daftar kata sulit dan maknanya

D. INDIKATOR
Mencatat masalah dari berbagai sumber
Menanggapi masalah dalam berita, artikel, dan buku
Mengajukan saran dan pemecahan masalah terhadap masalah yang disampaikan
Mendaftar kata-kata sulit dalam teks bacaan
membahas maknanya

E. TUJUAN PEMBELAJARAN
Siswa dapat :
Mencatat masalah dari berbagai sumber
Menanggapi masalah dalam berita, artikel, dan buku
Mengajukan saran dan pemecahan masalah terhadap masalah yang disampaikan
Mendaftar kata-kata sulit dalam teks bacaan
membahas maknanya

F. METODE PEMBELAJARAN
· Penugasan
· Diskusi
· Tanya jawab
· Unjuk kerja
· Ceramah
· Demonstrasi



G. LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
Kegiatan Awal
· Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini
· Guru mendesripsikan berbagai pengalaman

Kegiatan Inti
· Secara bergiliran siswa Mencari artikel, atau buku yang berhubungan dengan lingkungan daerah (misalnya, AIDS/HIV, SARS, atau bencana alam yang terkait dengan daerah setempat)*
· Membaca berita, artikel atau buku.
· Mengidentifikasi masalah dalam artikel
· Mendiskusikan masalah
· Melaporkan hasil diskusi

Kegiatan Akhir
· Refleksi
· Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini

H. ALOKASI WAKTU
4 X 40 Menit

I. SUMBER BELAJAR/BAHAN
· Buku Cerita lucu / kaset cerita
· Pengalaman langsung.
· Buku Pendamping : Syamsuddin A.R. Kompetensi Berbahasa dan sastra Indonesia Kelas X. Surakarta : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2006

J. PENILAIAN
Jenis Tagihan :
Tugas Individu
Ulangan

Bentuk Instrumen:
Uraian bebas
Pilihan ganda
Jawaban singkat


Cisalak, Juli 2008
Mengetahui
Kepala SMA Plus Pagelaran




Dandy S Muhyiddin, S.Si.M.T

Guru Mata Pelajaran




Drs. Cecep Subyadi



RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

NAMA SEKOLAH : SMA Plus Pagelaran
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : X
SEMESTER : I

A. STANDAR KOMPETENSI
Berbicara : 2. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi melalui kegiatan berkenalan, berdiskusi, dan bercerita

B. KOMPETENSI DASAR
2.3 Menceritakan berbagai pengalaman dengan pilihan kata dan ekspresi yang tepat

C. MATERI PEMBELAJARAN
Cerita peng­alam­an (yang lucu, menggembirakan, mengharukan, dsb.)
· Penggunaan diksi (pilihan kata)
· Penggunaan intonasi, jeda, dan ekspresi

D. INDIKATOR
· Menyampaikan secara lisan pengalaman pribadi (yang lucu, menyenangkan, mengharukan, dsb.) dengan pilihan kata dan ekspresi yang tepat
· Menanggapi pengalaman pribadi yang disampaikan teman

E. TUJUAN PEMBELAJARAN
Siswa dapat :
· Menyampaikan secara lisan pengalaman pribadi (yang lucu, menyenangkan, mengharukan, dsb.) dengan pilihan kata dan ekspresi yang tepat
· Menanggapi pengalaman pribadi yang disampaikan teman dengan bahasa yang santun dan efektif
· Menuliskan pengalaman pribadi dengan menggunakan kalimat efektif

F. METODE PEMBELAJARAN
· Penugasan
· Diskusi
· Tanya jawab
· Unjuk kerja
· Ceramah
· Demonstrasi

G. LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
Kegiatan Awal
· Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini
· Guru mendesripsikan berbagai pengalaman



Kegiatan Inti
· Secara bergiliran siswa bercerita pengalaman pribadi (yang lucu, menyenangkan, atau mengharukan)* dengan menggunakan:
- pilihan kata dan ekspresi secara tepat.
- Menggunakan kosakata sesuai dengan situasi dan konteks.
Membahas pengalaman yang diceritakan

Kegiatan Akhir
· Refleksi
· Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini

H. ALOKASI WAKTU
4 X 40 Menit

I. SUMBER BELAJAR/BAHAN
· Buku Cerita lucu / kaset cerita
· Pengalaman langsung.
· Buku Pendamping : Syamsuddin A.R. Kompetensi Berbahasa dan sastra Indonesia Kelas X. Surakarta : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2006

J. PENILAIAN
Jenis Tagihan :
Tugas Individu
Ulangan

Bentuk Instrumen:
Uraian bebas
Pilihan ganda
Jawaban singkat


Cisalak, Juli 2008
Mengetahui
Kepala SMA Plus Pagelaran




Dandy S Muhyiddin, S.Si.M.T

Guru Mata Pelajaran




Drs. Cecep Subyadi










RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

NAMA SEKOLAH : SMA Plus Pagelaran
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : X
SEMESTER : I

A. STANDAR KOMPETENSI
Membaca : 3 Memahami berbagai teks bacaan nonsastra dengan berbagai teknik membaca

B. KOMPETENSI DASAR
3.1 Menemukan ide pokok berbagai teks nonsastra dengan teknik membaca cepat (250 kata/menit)

C. MATERI PEMBELAJARAN
Membaca cepat
· Teks nonsastra
· Teknik membaca cepat
· Rumus membaca cepat
· Fungsi membaca cepat

D. INDIKATOR
· Membaca cepat teks dengan kecepatan 250 kata/menit
· Menemukan ide pokok paragraf dalam teks
· Membuat ringkasan isi teks dalam beberapa kalimat yang runtut

E. TUJUAN PEMBELAJARAN
Siswa dapat :
· Membaca cepat teks dengan kecepatan 250 kata/menit
· Menemukan ide pokok dan ide penjelas paragraf dalam teks
· Menentukan jenis paragraf dan wacana
· Membuat ringkasan isi teks dalam beberapa kalimat yang runtut

F. METODE PEMBELAJARAN
· Penugasan
· Diskusi
· Tanya jawab
· Ceramah

G. LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
Kegiatan Awal
· Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini





Kegiatan Inti
· Membaca cepat teks dengan kecepatan 250 kata/menit
· Menemukan ide pokok paragraf dalam teks
· Membuat ringkasan isi teks dalam beberapa kalimat yang runtut

Kegiatan Akhir
· Refleksi
· Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini
· Penugasan

H. ALOKASI WAKTU
4 X 40 Menit

I. SUMBER BELAJAR/BAHAN
· Media massa/koran /majalah/internet
· Buku yang berkaitan dengan budaya setempat
· Buku pendamping

J. PENILAIAN
Jenis Tagihan :
Tugas Individu
Ulangan

Bentuk Instrumen:
Uraian bebas
Pilihan ganda
Jawaban singkat


Cisalak, Juli 2008
Mengetahui
Kepala SMA Plus Pagelaran




Dandy S Muhyiddin, S.Si.M.T

Guru Mata Pelajaran




Drs. Cecep Subyadi












RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

NAMA SEKOLAH : SMA Plus Pagelaran
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : X
SEMESTER : I

A. STANDAR KOMPETENSI
Membaca : 3 Memahami berbagai teks bacaan nonsastra dengan berbagai teknik membaca

B. KOMPETENSI DASAR
3.2 Mengidentifikasi ide pokok teks nonsastra dari berbagai sumber melalui teknik membaca ekstensif

C. MATERI PEMBELAJARAN
Teks nonsastra dari berbagai sumber
· Ide pokok tiap paragraf
· Ide pokok dari berbagai sumber
· Fakta dan opini
· Ringkasan isi

D. INDIKATOR
· Mengidentifikasi ide pokok tiap paragraf
· Menuliskan kembali isi bacaan secara ringkas dalam beberapa kalimat
· Mengidentifikasi fakta dan pendapat

E. TUJUAN PEMBELAJARAN
Siswa dapat :
· Mengidentifikasi ide pokok tiap paragraf
· Menuliskan kembali isi bacaan secara ringkas dalam beberapa kalimat buatan sendiri
· Mengidentifikasi serta membedakan fakta dan pendapat

F. METODE PEMBELAJARAN
· Penugasan
· Diskusi
· Tanya jawab
· Unjuk Kerja
· Ceramah
· Demonstrasi

G. LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
Kegiatan Awal
· Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini



Kegiatan Inti
· Membaca teks berita/ artikel tentang kesenian daerah
· Mengidentifikasi ide pokok tiap paragraf
· Menuliskan kembali isi bacaan secara ringkas
· Mendiskusikan ide pokok dan ringkasan isi

Kegiatan Akhir
· Refleksi
· Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini
· Penugasan

H. ALOKASI WAKTU
4 X 40 Menit

I. SUMBER BELAJAR/BAHAN
· Media massa/koran /majalah/internet

J. PENILAIAN
Jenis Tagihan :
Tugas Individu
Ulangan

Bentuk Instrumen:
Uraian bebas
Pilihan ganda
Jawaban singkat


Cisalak, Juli 2008
Mengetahui
Kepala SMA Plus Pagelaran




Dandy S Muhyiddin, S.Si.M.T

Guru Mata Pelajaran




Drs. Cecep Subyadi














RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

NAMA SEKOLAH : SMA Plus Pagelaran
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : X
SEMESTER : I

A. STANDAR KOMPETENSI
Menulis :4. Mengungkapkan informasi dalam berbagai bentuk paragraf (naratif, deskriptif, ekspositif)

B. KOMPETENSI DASAR
4.1 Menulis gagasan dengan menggunakan pola urutan waktu dan tempat dalam bentuk paragraf naratif

C. MATERI PEMBELAJARAN
Paragraf naratif
· Contoh paragraf naratif
· Pola pengembangan paragraf naratif (urutan waktu, tempat)
· Ciri/ karakteristik paragraf naratif
· Kerangka paragraf naratif
· penggunaan kata ulang dalam paragraf naratif

D. INDIKATOR
· Mendaftar topik-topik yang dapat dikembangkan menjadi paragraf naratif
· Menyusun kerangka paragraf naratif berdasarkan kronologi waktu dan peristiwa
· Mengembangkan kerangka yang telah dibuat menjadi paragraf naratif
· Menyunting paragraf naratif yang ditulis teman berdasarkan kronologi, waktu, peristiwa, dan EYD
· Menggunakan kata ulang dalam paragraf naratif

E. TUJUAN PEMBELAJARAN
Siswa dapat :
· Mendaftar topik-topik yang dapat dikembangkan menjadi paragraf naratif
· Menyusun kerangka paragraf naratif berdasarkan kronologi waktu dan peristiwa
· Mengembangkan kerangka yang telah dibuat menjadi paragraf naratif
· Menyunting paragraf naratif yang ditulis teman berdasarkan kronologi, waktu, peristiwa, dan EYD
· Menggunakan kata ulang dalam paragraf naratif

F. METODE PEMBELAJARAN
· Penugasan
· Diskusi
· Tanya jawab
· Ceramah
· Demonstrasi
G. LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
Kegiatan Awal
· Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini
· Guru mencontohkan paragraf dan ciri-ciri paragraf naratif

Kegiatan Inti
· Membaca paragraf naratif
· Mengidentifikasi struktur paragraf naratif
· Menulis paragraf naratif
· Menggunakan kata ulang dalam paragraf naratif
· Menyunting paragraf naratif yang ditulis teman
· Mendiskusikan paragraf naratif

Kegiatan Akhir
· Refleksi
· Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini
· Penugasan

H. ALOKASI WAKTU
4 X 40 Menit

I. SUMBER BELAJAR/BAHAN
· Buku teks yang terkait dengan naratif : Deskripsi dan Narasi, Gorys Keraf, Ende-Flores : Nusa Indah.
· Buku Ejaan yang disempurnakan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Balai Pustaka
· Rangkuman Bahasa dan Sastra Indonesia, Wisnu Sujianto dan Dwi Haryanti, Sukoharjo: Yay. Ranafaza

J. PENILAIAN
Jenis Tagihan :
Tugas Individu
Ulangan

Bentuk Instrumen:
Uraian bebas
Pilihan ganda
Jawaban singkat


Cisalak, Juli 2008
Mengetahui
Kepala SMA Plus Pagelaran




Dandy S Muhyiddin, S.Si.M.T

Guru Mata Pelajaran




Drs. Cecep Subyadi

Sabtu, 17 Januari 2009

Psikologi Abnormal

Oleh: M. Fakhrurrozi, S.Psi
APAKAH PERILAKU ABNORMAL ITU?

Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan suatu perilaku abnormal, antara lain:
1. Statistical infrequency
Perspektif ini menggunakan pengukuran statistik dimana semua variabel yang yang akan diukur didistribusikan ke dalam suatu kurva normal atau kurva dengan bentuk lonceng. Kebanyakan orang akan berada pada bagian tengah kurva, sebaliknya abnormalitas ditunjukkan pada distribusi di kedua ujung kurva.
Digunakan dalam bidang medis atau psikologis. Misalnya mengukur tekanan darah, tinggi badan, intelegensi, ketrampilan membaca, dsb.
Namun, kita jarang menggunakan istilah abnormal untuk salah satu kutub (sebelah kanan). Misalnya orang yang mempunyai IQ 150, tidak disebut sebagai abnormal tapi jenius.
Tidak selamanya yang jarang terjadi adalah abnormal. Misalnya seorang atlet yang mempunyai kemampuan luar biasa tidak dikatakan abnormal. Untuk itu dibutuhkan informasi lain sehingga dapat ditentukan apakah perilaku itu normal atau abnormal.
2. Unexpectedness
Biasanya perilaku abnormal merupakan suatu bentuk respon yang tidak diharapkan terjadi. Contohnya seseorang tiba-tiba menjadi cemas (misalnya ditunjukkan dengan berkeringat dan gemetar) ketika berada di tengah-tengah suasana keluarganya yang berbahagia. Atau seseorang mengkhawatirkan kondisi keuangan keluarganya, padahal ekonomi keluarganya saat itu sedang meningkat. Respon yang ditunjukkan adalah tidak diharapkan terjadi.
3. Violation of norms
Perilaku abnormal ditentukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dimana perilaku tersebut terjadi.
Jika perilaku sesuai dengan norma masyarakat, berarti normal. Sebaliknya jika bertentangan dengan norma yang berlaku, berarti abnormal.
Kriteria ini mengakibatkan definisi abnormal bersifat relatif tergantung pada norma masyarakat dan budaya pada saat itu. Misalnya di Amerika pada tahun 1970-an, homoseksual merupakan perilaku abnormal, tapi sekarang homoseksual tidak lagi dianggap abnormal.
Walaupun kriteria ini dapat membantu untuk mengklarifikasi relativitas definisi abnormal sesuai sejarah dan budaya tapi kriteria ini tidak cukup untuk mendefinisikan abnormalitas. Misalnya pelacuran dan perampokan yang jelas melanggar norma masyarakat tidak dijadikan salah satu kajian dalam psikologi abnormal.
4. Personal distress
Perilaku dianggap abnormal jika hal itu menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi individu.
Tidak semua gangguan (disorder) menyebabkan distress. Misalnya psikopat yang mengancam atau melukai orang lain tanpa menunjukkan suatu rasa bersalah atau kecemasan.
Juga tidak semua penderitaan atau kesakitan merupakan abnormal. Misalnya seseorang yang sakit karena disuntik.
Kriteria ini bersifat subjektif karena susah untuk menentukan setandar tingkat distress seseorang agar dapat diberlakukan secara umum.
5. Disability
Individu mengalami ketidakmampuan (kesulitan) untuk mencapai tujuan karena abnormalitas yang dideritanya. Misalnya para pemakai narkoba dianggap abnormal karena pemakaian narkoba telah mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk menjalankan fungsi akademik, sosial atau pekerjaan.
Tidak begitu jelas juga apakah seseorang yang abnormal juga mengalami disability. Misalnya seseorang yang mempunyai gangguan seksual voyeurisme (mendapatkan kepuasan seksual dengan cara mengintip orang lain telanjang atau sedang melakukan hubungan seksual), tidak jelas juga apakah ia mengalami disability dalam masalah seksual.
Dari semua kriteria di atas menunjukkan bahwa perilaku abnormal sulit untuk didefinisikan. Tidak ada satupun kriteria yang secara sempurna dapat membedakan abnormal dari perilaku normal. Tapi sekurang-kurangnya kriteria tersebut berusaha untuk dapat menentukan definisi perilaku abnormal. Dan adanya kriteria pertimbangan sosial menjelaskan bahwa abnormalitas adalah sesuatu yang bersifat relatif dan dipengaruhi oleh budaya serta waktu.
Mitos dan fakta tentang perilaku abnormal
MITOS
FAKTA
· Perilaku abnormal sangat aneh dan sangat berbeda dengan orang normal
· Gangguan mental akibat adanya kekurangan dalam diri yang tidak teratasi
· Gangguan mental dipengaruhi sihir atau magic
· Penderita gangguan sukar dibedakan dengan orang normal
· Setiap orang punya potensi dan kesempatan sama untuk terganggu dan bertingkah laku abnormal
· Banyak orang-orang yang percaya Tuhan terkena gangguan mental dan masyarakat kurang mengetahui pengetahuan ilmiah.
SEJARAH PSIKOPATOLOGI
Psikopatologi adalah suatu ilmu yang mempelajari proses dan perkembangan gangguan mental
Demonology Awal
· Demonology merupakan suatu doktrin yang menyebutkan bahwa perilaku abnormal seseorang disebabkan oleh pengaruh roh jahat atau kekuatan setan. Masyarakat saat itu meyakini bahwa kekuatan roh atau setan dapat merasuk ke dalam tubuh seseorang dan mengontrol pikiran serta tubuh orang tersebut.
· Demonology ditemukan dalam budaya Cina, Mesir dan Yunani.
· Para pemuka agama pada masa itu melakukan suatu upacara untuk mengeluarkan pengaruh roh jahat dari tubuh seseorang. Mereka menggunakan nyanyian mantra atau siksaan terhadap objek tertentu, bisa binatang atau manusia. Metode tersebut dinamakan exorcism.
Penjelasan fisiologis awal terhadap gangguan mental pada masa Roma dan Yunani Kuno.
· Abad 5 SM, Hippocrates (Bapak Kedokteran; penemu ilmu medis modern) memisahkan ilmu medis dari agama, magic dan takhyul. Ia menolak keyakinan yang berkembang pada masa Yunani itu bahwa Tuhan (dewa) mengirimkan penyakit fisik dan gangguan mental sebagai bentuk hukuman.
· Hippocrates menjelaskan tentang pentingnya otak dalam mempengaruhi pikiran, perilaku dan emosi manusia. Menurutnya, otak adalah pusat kesadaran, pusat intelektual dan emosi. Sehingga jika cara berpikir dan perilaku seseorang menyimpang atau terganggu berarti ada suatu masalah pada otaknya (otaknya terganggu).
· Hippocrates merupakan pelopor somatogenesis – suatu ide yang menyebutkan bahwa kondisi soma (tubuh) mempengaruhi pikiran dan perilaku individu. Jika soma (tubuh) seseorang terganggu, maka pikiran dan perilakunya juga akan terganggu. Kebalikannya, yaitu psychogenesis – suatu keyakinan bahwa segala sesuatu tergantung kepada kondisi psikis individu.
· Hippocrates mengklasifikasikan gangguan mental ke dalam tiga kategori yaitu mania, melancholia dan phrentis (demam otak). Ia yang lebih percaya pada hal-hal yang bersifat natural daripada supranatural percaya bahwa suatu pola hidup tertentu akan mempengaruhi kesehatan otak dan tubuh.
· Selain Hippocrates, ada juga dokter dari Roma yang mencoba memberikan penjelasan naturalistik tentang gangguan psikotik. Mereka adalah Asclepiades dan Galen. Disamping itu, keduanya mendukung perlakuan yang lebih manusiawi dan perawatan di rumah sakit bagi para penderita gangguan mental.
Jaman Kegelapan (The Dark Ages)dan kembalinya demonology
· Kematian Galen (130 – 200 M), sebagai dokter terakhir pada masa klasik Yunani menandai dimulainya Jaman Kegelapan bagi dunia medis dan bagi perawatan serta studi tentang perilaku abnormal. Setelah runtuhnya Roma dan Yunani, peradaban manusia mengalami kemunduran.
· Pada Jaman Pertengahan dan Renaissance (400 – 1500 M), kalangan gereja dan Kristen meluaskan pengaruhnya melalui dunia pendidikan dan misionaris agama menggantikan budaya klasik kala itu. Termasuk dalam hal menangani penderita gangguan mental. Saat itu gangguan mental kembali dihubungkan dengan pengaruh spiritual dan supranatural.
· Para pastur menangani penderita gangguan mental dengan berdoa atau menyentuhnya dengan menggunakan benda-benda yang dianggap keramat atau juga memberinya ramuan yang harus diminum pada saat fase bulan mulai mengecil. Sedangkan keluarga penderita percaya dan membawanya ke pastur karena takut dan mempunyai takhyul bahwa penderita terkena pengaruh setan.
· Penderita gangguan mental dianggap sebagai tukang sihir. Mereka dianggap bersekutu dengan setan dan menentang Tuhan.
· Tahun 1484, Pope Innocent VIII meminta kepada para pendeta di Eropa untuk mencari para tukang sihir. Kemudian dua tahun kemudian setelah dia mengirim dua pendeta ke Jerman, akhirnya dikeluarkan buku petunjuk yang diberi nama Malleus Maleficarum untuk melakukan perburuan tukang sihir (witch hunts).
· Buku ini berisi tentang berbagai tanda untuk mendeteksi tukang sihir seperti bercak merah atau daerah rawan pada kulit tukang sihir. Bercak tersebut menurut buku panduan itu, diduga dibuat oleh setan dengan cakarnya sebagai tanda perjanjian antara tukang sihir itu dengan setan.
· Para tukang sihir yang tertangkap dan tidak mengaku akan disiksa dan dipenjara seumur hidup bahkan sampai menjalani eksekusi mati.
· Witch hunting mulai mereda pada abad 17 dan 18. Di Spanyol pada tahun 1610, berbagai tuduhan terhadap tukang sihir yang ditangkap dinyatakan batal. Tuduhan tersebut harus disertai dengan bukti-bukti yang independen, tidak dibenarkan adanya penyiksaan serta barang-barang milik tukang sihir tersebut tidak akan disita.
· Di Swedia, pada tahun 1649, Queen Christina memerintahkan untuk membebaskan semua tukang sihir kecuali mereka yang benar-benar terbukti melakukan pembunuhan.
· Di Perancis, tahun 1682, Raja Louis XIV mengeluarkan dekrit tentang pembebasan tukang sihir.
· Eksekusi terakhir terhadap tukang sihir dilakukan di Swiss pada tahun 1782.
· Sampai akhir Jaman Pertengahan, semua penderita gangguan mental dianggap sebagai tukang sihir. Dalam pengakuannya beberapa dari mereka mengaku mempunyai hubungan dengan setan, melakukan hubungan seksual dan sering berkumpul dengan kelompok roh atau setan. Hal itu dalam pandangan abnormal diinterpretasi mungkin para tukang sihir tersebut mengalami halusinasi atau delusi dan beberapa dari mereka didiagnosis mempunyai gangguan psikosis.
Pembangunan Asylums selama Renaissance (Jaman Pencerahan)
· Pada abad 15 dan 16, di Eropa mulai dilakukan pemisahan dengan serius antara penderita gangguan mental dari kehidupan sosialnya. Disana dibangun suatu tempat penampungan yang disebut Asylums. Di asylums itu ditampung dan dirawat penderita gangguan mental dan para gelandangan. Mereka dibiarkan untuk tetap bekerja dan tidak diberi suatu aturan hidup yang jelas.
· Tahun 1547, Henry VIII membangun London’s Hospital of St. Mary of Bethlehem (kemudian terkenal dengan nama Bedlam), sebagai rumah sakit pasien gangguan mental. Kondisi di Bedlam saat itu cukup menyedihkan dimana disana suasananya sangat bising dan membingungkan serta kemudian Bedlam berkembang menjadi hiburan masyarakat untuk mencela dan menonton tingkah laku orang sakit jiwa tersebut. Bedlam sendiri kemudian menyediakan tiket untuk dijual kepada masyarakat.
Gerakan Reformasi : the insane as sick
· Konsep baru tentang gangguan dan penyakit mental muncul dalam Revolusi Amerika dan Perancis sebagai bagian dari proses pencerahan (renaisans) bidang rasionalisme, humanisme dan demokrasi politik. Orang gila (insane) kemudian dianggap sebagai orang sakit.
· Tokoh di Eropa kemudian ikut menyuarakan hal itu. Misalnya Chiarugi di Italia dan Muller di Jerman menyuarakan tentang treatment rumah sakit yang lebih humanis. Tetapi perwujudan konsep baru dalam bidang ini dipelopori oleh Phillipe Pinel (1745 – 1826).
· Pinel kemudian memulai pekerjaannya dari asylums di Paris yang bernama La Bicetre. Pinel merupakan figur yang mempelopori gerakan treatment yang lebih humanis (manusiawi) terhadap penderita gangguan mental. Ia membebaskan pasien di La Bicetre dari ikatan rantai dan pasung kemudian memperlakukannya sebagai seorang yang sakit dan tidak diperlakukan seperti seekor hewan sebagaimana dilakukan di La Bicetre.
· Beberapa pasien yang awalnya tidak terawat kemudian dapat terlihat lebih tenang. Mereka juga bebas berjalan-jalan di rumah sakit tanpa ada kecenderungan untuk menyakiti orang lain. Selain itu, di ruangan mereka di bawah tanah, dipasang penerangan dan sistem peredaran udara (ventilasi). Setelah beberapa tahun menjalani perawatan yang lebih manusiawi, beberapa pasien dapat pulih kembali dan keluar dari La Bicetre.
· Pinel berpendapat bahwa rumah sakit seharusnya merupakan tempat untuk treatment bukan untuk mengurung. Menurutnya, pasien gangguan mental pada dasarnya adalah orang normal yang selayaknya didekati dengan perasaan iba, memahami mereka serta diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai individu. Pinel juga menentang adanya hukuman dan pengusiran bagi para penderita gangguan mental. Pinel kemudian juga mengajukan studi ilmiah dan kategorisasi penyakit mental, melakukan pencatatan kasus, riwayat hidup dan studi terhadap metode treatment. Ia kemudian menyebutkan bahwa beberapa kondisi psikosis mungkin merupakan faktor psikogenesis.
· Semangat Pinel diteruskan oleh British Quakers yang membangun ‘asylums for the insane’ yang pada waktu itu berkonotasi sebagai tempat pengungsian dan tempat istirahat. Pada awal abad 19, rumah sakit di Amerika dan Inggris menekankan ‘moral treatment’ untuk memulihkan kesehatan mental melalui inspirasi spiritual, studi dan perhatian yang penuh kebajikan (benevolent care).
· Pertengahan abad 20, perhatian diarahkan dalam pengembangan ‘therapeutic millieus’ dan merubah rumah sakit dari custodial (model tahanan) menjadi therapeutic agency. Tetapi terjadi kemunduran dalam masalah perawatan dalam rumah sakit pada keadaan dehumanisasi seperti yang ditentang Pinel. Kondisi yang buruk tersebut diungkap oleh Dorothy Dix dan Clifford Beers pada awal abad 20 dan oleh Deutcsh (1949) yang menunjukkan bagaimana masyarakat menolak orang sakit jiwa dan memperlakukan orang sakit jiwa secara tidak layak. Pada berbagai rumah sakit pemerintah, ‘Bedlam’ terus hidup hingga sekarang. Demikian juga pandangan masyarakat yang walaupun secara eksplisit mengatakan ‘insane as sick’ tapi seringkali perlakuan yang ditampakkan justru menunjukkan ‘insane as subhuman / possessed (kesurupan)’.
Pendekatan Medis pada Gangguan Mental
· Sejak 2 abad terakhir, konsep gangguan mental sebagai penyakit yang disebabkan oleh faktor natural dan dapat dijelaskan secara ilmiah merupakan pandangan yang cukup dominan.
· Para dokter berusaha menjelaskan bentuk dan jenis penyakit mental, menemukan penyebabnya, ciri-cirinya dan mengembangkan metode treatment yang tepat.
· Anggapan dokter adalah bahwa setiap terjadi perilaku yang patologis merupakan penyakit susunan saraf. Penelitian dalam hal ini sudah banyak dilakukan.
· Tradisi psikiatri medis paling terwakili oleh Emil Kraepelin (1855 – 1926). Ia mencoba mendaftar gejala-gejala yang tampak dari disfungsi mental, kemudian mengklasifikasikan pasien berdasarkan pola simtom dan mengidentifikasi serta mengklasifikasikan penyakit mental.
· Kraepelin melabel 2 penyakit mental parah yang paling umum yakni dementia praecox (sekarang lebih dikenal dengan sebutan skizofrenia, dari istilah Eugen Bleuler) dan manic-depressive psychosis.
Pendekatan Psikologis pada Gangguan Mental
· Psikopatologi tidak hanya mengetengahkan konsep penyakit psychological functioning, tapi juga mengetengahkan bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor psikologis.
· Orientasi psikogenik muncul pada studi tentang histeria, yaitu suatu kondisi neurotis yang sering ditandai dengan gejala fisik seperti, mati rasa, kebutaan dan juga gejala behavioral seperti kehilangan memori, kepribadian atau kondisi emosi yang tidak menentu. Pada abad 18 dan 19, di Eropa banyak dijumpai subjek yang mengalami simtom histeria tersebut.
· Untuk menjelaskan terjadinya histeria tersebut, muncul beberapa pandangan yang berorientasi psikogenik. Salah satunya adalah dokter Austria, Franz Anton Mesmer (1734 – 1815).
· Studi tentang histeria ini menggunakan metode hipnotis. Di bawah kondisi hipnotis, pasien dengan histeria dapat memunculkan kembali simtom histeria yang biasanya muncul. Hipnotis kemudian menjadi suatu metode yang penting dalam treatment psikologis, terutama psikoanalisa yang biasa menggunakan asosiasi bebas dan interpretasi mimpi untuk mengeksplorasi alam bawah sadar.
· Selain hipnotis, metode lain yang digunakan untuk melakukan terapi pada gangguan mental adalah katarsis yang dikenalkan oleh Josef Breuer dan kemudian dikembangkan oleh Sigmund Freud.
· Katarsis adalah suatu metode terapeutik dimana pasien diminta untuk mengingat kembali dan melepaskan emosi yang tidak menyenangkan, mengalami kembali ketegangan dan ketidakbahagiaannya dengan tujuan untuk melepaskan dari penderitaan emosional.
· Mesmer, Charcot, Breuer dan Freud mengembangkan metode hipnotis dan katarsis. Hal itu menunjukkan adanya orientasi psikogenik terhadap gangguan mental.

Psikologi Pesona Presiden Selebritis

SUSILO Bambang Yudhoyono, presiden baru kita, tampil sebagai sosok memesona di hadapan rakyat.
Pesona itu mengandung berbagai muatan, misalnya, sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat sehingga legitimasi "akar-rumput" sangat kuat. Juga, sejuta harapan yang dipercayakan kepadanya, mungkin luapan harapan akan perubahan yang terbesar dibandingkan dengan para pendahulunya.
Namun sayangnya, semua pesona itu tampaknya hanya terjadi di masa prapelantikannya sebagai seorang presiden. Pesona itu terutama menonjol selama masa kampanye berlangsung. Sejak pelantikannya tanggal 20 Oktober 2004, lalu proses penetapan struktur dan susunan kabinet, tampaknya pesona itu mulai goyang. Masyarakat, terutama kalangan kritis, mulai teringat hal-hal yang kurang kondusif pada dirinya sebagai presiden. Salah satunya yang menonjol adalah "sinyalemen" kelemahannya soal ketidaktegasan, kebimbangan, dan seterusnya sebagai seorang pemimpin. Singkatnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disinyalir sebagai indecisive leader.
Pendeknya, idiom yang berbunyi "kesan pertama begitu memesona", bagi SBY menjadi "kesan pertama, tak begitu memesona". Banyak hal yang mencerminkan hal itu, misalnya susunan anggota kabinet (calon menteri) yang "bolak-balik" berubah akibat berbagai tarikan kepentingan. Salah satu contoh menarik adalah beberapa kali perubahan posisi Sri Mulyani yang awalnya sebagai menteri keuangan (akhirnya sebagai Kepala Bappenas), termasuk posisi Mari Pangestu. Belum lagi isu soal kebimbangan SBY oleh desakan PKS yang kurang suka kedua wanita tangguh itu berkutat dengan posisi-posisi berbau keuangan karena dianggap pro-IMF. Profesionalisme akhirnya jadi di bawah kepentingan (politik) partai.
Banyak lagi kebimbangan dan ketidaktegasan dalam mengambil keputusan di seputar struktur dan susunan kabinet sehingga "janji" pengumuman susunan itu tertunda-tunda beberapa kali. Tampaknya, juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng sekarang mesti berpikir dua kali untuk tidak seoptimistis dan semanis seperti sebelumnya dalam menjalankan fungsinya sebagai penyambung lidah SBY, khususnya soal "janji-janji".
SECARA psikologis, pesona pada seseorang itu ada dua jenis:
(1) pesona internal-yang bersifat bawaan, given, artinya pesona itu murni karunia Tuhan yang inheren pada seorang manusia sejak ia dilahirkan. Contoh konkretnya adalah Bung Karno; dan
(2) pesona eskternal- bersifat rekayasa, kemasan, atau dipengaruhi faktor lingkungan. SBY tampaknya termasuk yang kedua ini. Ada proses psikologis yang menjelaskan bahwa pesona SBY bersifat eksternal.
Pesona SBY mencuat pertama kali sejak ia diuntungkan oleh dinamika "psikologi orang kalah" . Garis besarnya, sejak momentum "perseteruannya" dengan Megawati, lalu mundur dari kabinet, dan terjadi blessing in disquise lewat ucapan Taufik Kiemas (waktu itu) tentang SBY yang disebut seperti "anak kecil saja". Lahirlah klarifikasi psikologis dari rakyat, SBY sebagai sosok orang teraniaya, tersingkirkan, dan seterusnya. Dan, rakyat yang selama ini memang hidup dalam dinamika (psikologi) sebagai orang-orang kalah melakukan proses identifikasi pada sosok SBY, merasa senasib dan simpati, dan lahirlah popularitas SBY secara luar biasa.
Pesona eksternal dan popularitas ini ditangkap dengan jitu oleh SBY beserta tim suksesnya, dan semakin muluslah proses rekayasa pesonanya. Ini bisa dilihat dari segenap body language, penampilan, pemanfaatan momen sosial (selama kampanye), yang semuanya bermuara pada sosok sebagai the celebrity leader. Jadi jelas, SBY dan timnya hanya mengandalkan modal pesona ini, dan kurang mempertimbangkan aspek-aspek manajerial penting, seperti misalnya "persiapan kerja" yang memadai. Ini tampak pada ketidaksiapannya menggunakan "hak prerogratifnya" secara decisive dalam menentukan struktur dan susunan kabinet. Mestinya, sambil bersibuk-ria dengan urusan pesona (dan popularitas), secara paralel-simultan dia sudah melakukan berbagai persiapan pembentukan kabinet meski mungkin tidak secara terbuka. Ingat "pepatah manajemen": persiapan yang baik sudah merupakan lima puluh persen kesuksesan!
SAYANGNYA, pesona bersifat eksternal ini lebih gampang "luntur" dibandingkan dengan pesona internal. Logikanya sederhana, pesona internal itu ibarat gula yang sudah larut dalam air, meski tumpah ke tanah pun ia tetap manis, dan contoh itu, sekali lagi, mengejawantah pada sosok Bung Karno. Sedangkan pesona eksternal, ibarat bedak yang melekat di wajah seseorang (yang mungkin wajahnya biasa-biasa saja), ketika bedaknya hilang, kecantikan memudar dengan sendirinya.
Dalam konteks pesona SBY dan kaitannya dengan kapabilitas dirinya sebagai presiden (pemimpin)-khususnya sebagai indecisive leader-ada beberapa hal yang perlu diwaspadai: pertama, jika "bedak" pesonanya mulai luntur dan yang tersisa "wajah asli" (baca: indecisive leader) belaka, legitimasi dari rakyat dalam bentuk dukungan, simpati, dan seterusnya sebagai modal sosial mau tak mau juga akan ikut meluntur.
Kedua, jika itu yang terjadi, akan sangat berat baginya untuk bisa berkinerja prima. Secara psikologis, modal sosial dari rakyat itu sesungguhnya modal terbesar baginya sebagai faktor motivator luar biasa hebat yang mampu membuatnya bekerja dan berkinerja bahkan di luar batas-batas kapasitas dan kemampuan normalnya. Namun, jika kelunturan benar terjadi dan berekses pada motivasinya, apalagi sampai terjadi demotivasi dan demoralisasi pribadi, bisa dibayangkan seperti apa output dan outcome pemerintahannya.
Ketiga, tantangan bangsa yang sedang ditimpa krisis multidimensi ini luar biasa berat. Tantangan itu tidak bisa diselesaikan oleh pemimpin yang indecisive. Kondisi ini, plus perubahan global dunia yang serba tak menentu, sangat memerlukan pemimpin yang punya kapasitas survival of the fastest sebab kapasitas survival of the fittest sudah tak mencukupi lagi. Kelambanan dan ketidakpastian soal penentuan susunan kabinet adalah contoh aktual kurangnya kapasitas survival of the fastest, padahal di kantongnya sudah tersedia hak prerogatif sebagai presiden.
Keempat, last but not least-perlu dipertimbangkan sebuah pertanyaan reflektif; bisakah SBY mengubah diri, mentransformasi diri, untuk jauh lebih decisive dalam menunjang profesionalisme pribadinya-khususnya dalam masa evaluasi 100 hari ini? Itulah yang membuat sebagian kalangan mulai pesimistis dan skeptis. Sebab secara psikologis, kita bisa mengadaptasi konsep William James yang pernah mengisyaratkan tentang hal ini. Umumnya manusia, apalagi para pemimpin, pada batas-batas usia lima tahunan ke atas akan cenderung mempunyai karakter seperti gips, yang sulit untuk melunak lagi (berubah ke arah lebih baik).
Di balik tantangan obyektif permasalahan multidimensi bangsa, SBY mempunyai tantangan subyektif permasalahan pribadi untuk menyelesaikan gaya kepemimpinannya yang cenderung menjadi pemimpin selebritis sekaligus the indecisive leader. Tantangan obyektif tersebut tak mungkin dihadapi dengan kedua gaya kepemimpinannya itu.
Baiklah Presiden, di sela kesibukan luar biasa sebagai presiden baru, semoga masih sempat merenungkan seluk-beluk "psikologi pesona" ini!

Psikologi Pesona Presiden Selebritis

SUSILO Bambang Yudhoyono, presiden baru kita, tampil sebagai sosok memesona di hadapan rakyat.
Pesona itu mengandung berbagai muatan, misalnya, sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat sehingga legitimasi "akar-rumput" sangat kuat. Juga, sejuta harapan yang dipercayakan kepadanya, mungkin luapan harapan akan perubahan yang terbesar dibandingkan dengan para pendahulunya.
Namun sayangnya, semua pesona itu tampaknya hanya terjadi di masa prapelantikannya sebagai seorang presiden. Pesona itu terutama menonjol selama masa kampanye berlangsung. Sejak pelantikannya tanggal 20 Oktober 2004, lalu proses penetapan struktur dan susunan kabinet, tampaknya pesona itu mulai goyang. Masyarakat, terutama kalangan kritis, mulai teringat hal-hal yang kurang kondusif pada dirinya sebagai presiden. Salah satunya yang menonjol adalah "sinyalemen" kelemahannya soal ketidaktegasan, kebimbangan, dan seterusnya sebagai seorang pemimpin. Singkatnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disinyalir sebagai indecisive leader.
Pendeknya, idiom yang berbunyi "kesan pertama begitu memesona", bagi SBY menjadi "kesan pertama, tak begitu memesona". Banyak hal yang mencerminkan hal itu, misalnya susunan anggota kabinet (calon menteri) yang "bolak-balik" berubah akibat berbagai tarikan kepentingan. Salah satu contoh menarik adalah beberapa kali perubahan posisi Sri Mulyani yang awalnya sebagai menteri keuangan (akhirnya sebagai Kepala Bappenas), termasuk posisi Mari Pangestu. Belum lagi isu soal kebimbangan SBY oleh desakan PKS yang kurang suka kedua wanita tangguh itu berkutat dengan posisi-posisi berbau keuangan karena dianggap pro-IMF. Profesionalisme akhirnya jadi di bawah kepentingan (politik) partai.
Banyak lagi kebimbangan dan ketidaktegasan dalam mengambil keputusan di seputar struktur dan susunan kabinet sehingga "janji" pengumuman susunan itu tertunda-tunda beberapa kali. Tampaknya, juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng sekarang mesti berpikir dua kali untuk tidak seoptimistis dan semanis seperti sebelumnya dalam menjalankan fungsinya sebagai penyambung lidah SBY, khususnya soal "janji-janji".
SECARA psikologis, pesona pada seseorang itu ada dua jenis:
(1) pesona internal-yang bersifat bawaan, given, artinya pesona itu murni karunia Tuhan yang inheren pada seorang manusia sejak ia dilahirkan. Contoh konkretnya adalah Bung Karno; dan
(2) pesona eskternal- bersifat rekayasa, kemasan, atau dipengaruhi faktor lingkungan. SBY tampaknya termasuk yang kedua ini. Ada proses psikologis yang menjelaskan bahwa pesona SBY bersifat eksternal.
Pesona SBY mencuat pertama kali sejak ia diuntungkan oleh dinamika "psikologi orang kalah" . Garis besarnya, sejak momentum "perseteruannya" dengan Megawati, lalu mundur dari kabinet, dan terjadi blessing in disquise lewat ucapan Taufik Kiemas (waktu itu) tentang SBY yang disebut seperti "anak kecil saja". Lahirlah klarifikasi psikologis dari rakyat, SBY sebagai sosok orang teraniaya, tersingkirkan, dan seterusnya. Dan, rakyat yang selama ini memang hidup dalam dinamika (psikologi) sebagai orang-orang kalah melakukan proses identifikasi pada sosok SBY, merasa senasib dan simpati, dan lahirlah popularitas SBY secara luar biasa.
Pesona eksternal dan popularitas ini ditangkap dengan jitu oleh SBY beserta tim suksesnya, dan semakin muluslah proses rekayasa pesonanya. Ini bisa dilihat dari segenap body language, penampilan, pemanfaatan momen sosial (selama kampanye), yang semuanya bermuara pada sosok sebagai the celebrity leader. Jadi jelas, SBY dan timnya hanya mengandalkan modal pesona ini, dan kurang mempertimbangkan aspek-aspek manajerial penting, seperti misalnya "persiapan kerja" yang memadai. Ini tampak pada ketidaksiapannya menggunakan "hak prerogratifnya" secara decisive dalam menentukan struktur dan susunan kabinet. Mestinya, sambil bersibuk-ria dengan urusan pesona (dan popularitas), secara paralel-simultan dia sudah melakukan berbagai persiapan pembentukan kabinet meski mungkin tidak secara terbuka. Ingat "pepatah manajemen": persiapan yang baik sudah merupakan lima puluh persen kesuksesan!
SAYANGNYA, pesona bersifat eksternal ini lebih gampang "luntur" dibandingkan dengan pesona internal. Logikanya sederhana, pesona internal itu ibarat gula yang sudah larut dalam air, meski tumpah ke tanah pun ia tetap manis, dan contoh itu, sekali lagi, mengejawantah pada sosok Bung Karno. Sedangkan pesona eksternal, ibarat bedak yang melekat di wajah seseorang (yang mungkin wajahnya biasa-biasa saja), ketika bedaknya hilang, kecantikan memudar dengan sendirinya.
Dalam konteks pesona SBY dan kaitannya dengan kapabilitas dirinya sebagai presiden (pemimpin)-khususnya sebagai indecisive leader-ada beberapa hal yang perlu diwaspadai: pertama, jika "bedak" pesonanya mulai luntur dan yang tersisa "wajah asli" (baca: indecisive leader) belaka, legitimasi dari rakyat dalam bentuk dukungan, simpati, dan seterusnya sebagai modal sosial mau tak mau juga akan ikut meluntur.
Kedua, jika itu yang terjadi, akan sangat berat baginya untuk bisa berkinerja prima. Secara psikologis, modal sosial dari rakyat itu sesungguhnya modal terbesar baginya sebagai faktor motivator luar biasa hebat yang mampu membuatnya bekerja dan berkinerja bahkan di luar batas-batas kapasitas dan kemampuan normalnya. Namun, jika kelunturan benar terjadi dan berekses pada motivasinya, apalagi sampai terjadi demotivasi dan demoralisasi pribadi, bisa dibayangkan seperti apa output dan outcome pemerintahannya.
Ketiga, tantangan bangsa yang sedang ditimpa krisis multidimensi ini luar biasa berat. Tantangan itu tidak bisa diselesaikan oleh pemimpin yang indecisive. Kondisi ini, plus perubahan global dunia yang serba tak menentu, sangat memerlukan pemimpin yang punya kapasitas survival of the fastest sebab kapasitas survival of the fittest sudah tak mencukupi lagi. Kelambanan dan ketidakpastian soal penentuan susunan kabinet adalah contoh aktual kurangnya kapasitas survival of the fastest, padahal di kantongnya sudah tersedia hak prerogatif sebagai presiden.
Keempat, last but not least-perlu dipertimbangkan sebuah pertanyaan reflektif; bisakah SBY mengubah diri, mentransformasi diri, untuk jauh lebih decisive dalam menunjang profesionalisme pribadinya-khususnya dalam masa evaluasi 100 hari ini? Itulah yang membuat sebagian kalangan mulai pesimistis dan skeptis. Sebab secara psikologis, kita bisa mengadaptasi konsep William James yang pernah mengisyaratkan tentang hal ini. Umumnya manusia, apalagi para pemimpin, pada batas-batas usia lima tahunan ke atas akan cenderung mempunyai karakter seperti gips, yang sulit untuk melunak lagi (berubah ke arah lebih baik).
Di balik tantangan obyektif permasalahan multidimensi bangsa, SBY mempunyai tantangan subyektif permasalahan pribadi untuk menyelesaikan gaya kepemimpinannya yang cenderung menjadi pemimpin selebritis sekaligus the indecisive leader. Tantangan obyektif tersebut tak mungkin dihadapi dengan kedua gaya kepemimpinannya itu.
Baiklah Presiden, di sela kesibukan luar biasa sebagai presiden baru, semoga masih sempat merenungkan seluk-beluk "psikologi pesona" ini!

Massa Punya Psikologi sendiri

KETIKA banyak parpol yang mengerahkan massa ke KPU dan dengan beringas menduduki kantor KPU, karena tidak lulus kualifikasi, banyak yang mencemaskan keamanan Pemilu 2004. Apalagi saat banyak caleg yang ikut-ikutan membawa massa berunjuk rasa ke kantor DPW atau DPP masingmasing gara-gara nomor urutnya digusur dari nomor jadi ke nomor tidak jadi. Langsung para pakar meramalkan, Pemilu 2004 akan berdarah-darah.
Baru Parpol dan caleg gurem saja sudah begitu beringas, bagaimana bila yang nanti kecewa adalah parpol-parpol besar? Bukankah pasti akan terjadi tawuran, begitu massa dari satu parpol berpapasan dengan massa parpol lain? Itu sudah benar-benar terjadi pada masa prakampanye di Bali. Apakah tidak ngeri?
Di sisi lain, sejak dulu saya tidak yakin pemilu akan berdarah-darah. Beberapa korban pasti akan jatuh, misalnya karena kecelakaan lalu lintas akibat kecerobohan anggota massa sendiri (terjatuh dari truk, tergilas roda kendaraan, dan sebagainya), atau tawuran antarkampung yang masyarakatnya sudah musuh bebuyutan sejak dulu, tetapi kali ini mendapat identitas parpol berbeda. Itu wajar dan sulit dihindari dari fenomena massal yang begitu kolosal seperti Pemilu 2004.
Namun nyatanya, sampai tulisan ini dibuat, belum ada konflik yang signifikan, apalagi sampai mengambil korban nyawa. Di berbagai tempat, arak-arakan berbagai parpol bisa berpapasan. Masing-masing dengan gaya yang sama (motor dibuka knalpotnya, kepala botak atau dicukur dengan nomor parpol jagoannya, muka dicoreng-coreng, dan sebagainya), hanya kaos dan bendera yang berbeda.
Pada tahun 1999 dan sebelumnya, dua kelompok massa yang berhadapan pasti akan langsung bertempur. Tetapi kini, paling hanya saling memberi salam, melambaikan tangan, dan melempar senyum. Bahkan yang saya lihat sendiri di Jakarta, beberapa sepeda motor berbendera Partai Demokrat "terjebak" arus rombongan besar PDI-P yang serba merah dan tidak terjadi apa-apa. Bahkan "oknum-oknum" Partai Demokrat itu dengan santai mengikuti arus merahnya PDI-P, sambil sesekali ngobrol dengan peserta arak-arakan dari PDI-P yang kebetulan di sebelahnya. Jadi, saya yang kebetulan sedang ada dalam bus way seakan melihat lautan merah dengan riak-riak biru muda di sana-sini.
Mengapa tidak rusuh?
Pertanyaan ini perlu dijawab dengan jelas, karena justru kampanye damailah yang terjadi, bukan rusuh seperti banyak diperkirakan para pakar sebelumnya.
Beberapa jawaban yang sering dilontarkan terhadap pertanyaan ini antara lain rakyat sudah jenuh dengan kekerasan, rakyat sudah tambah pandai dan mengerti, dan rakyat sudah bosan dibohongi partai dan politisi busuk.
Jawaban-jawaban itu tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Karena, rusuh massa akhir-akhir ini melanda hampir semua bagian dunia, termasuk negara maju yang rakyatnya sudah lebih terdidik
Dalam Psikologi Sosial, ada teori yang menyatakan, massa itu bersifat irasional, emosional, impulsif, agresif, dan destruktif. Dengan kata lain, menurut teori yang antara lain dikemukakan G Le Bon ini, suatu massa yang "jinak" (seperti pengunjung pasar, atau penonton bioskop) bisa tiba-tiba beringas jika ada pemicu. Inilah mungkin yang menyebabkan para pakar tergoda menilai pemilu sebagai pemicu yang potensial.
Meski demikian, ada satu hal yang sering luput dari pengamatan para pengamat, yaitu tidak setiap hal (termasuk pemilu) bisa memicu kerusuhan. Menurut teori perilaku massa dari N Smester, misalnya, pemicu hanya salah satu faktor, sekaligus faktor terakhir dari seluruhan enam faktor yang menjadi prasyarat untuk terjadinya perilaku massa.
Kelima faktor lain di luar faktor pemicu itu adalah (1) tekanan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, biaya hidup, dan pendidikan yang mahal; (2) situasi yang kondusif untuk beraksi massa, seperti pelanggaran tidak dihukum dan diliput media massa; (3) adanya kepercayaan publik, dengan aksi massa situasi bisa diubah; (4) peluang (sarana dan prasarana) untuk memobilisasi massa; dan (5) kontrol aparat yang lemah.
Dari kelima faktor itu, yang paling tidak terpenuhi adalah faktor keyakinan publik. Benar, aksi-aksi mahasiswa dan pemuda membawa beberapa perubahan politik yang amat signifikan di tahun 1908, 1928, 1945, dan 1966. Tetapi kenyataan membuktikan, sejak 1998, aksi-aksi mahasiswa hanya bisa menjatuhkan tiga presiden berturut-turut dalam waktu dua-tiga tahun, tanpa memberi perubahan bermakna pada peningkatan taraf kehidupan rakyat sendiri. Kurs dollar naik, inflasi makin parah, bunga bank melambung, pengangguran makin banyak, dan sebagainya. Malah perbaikan justru mulai tampak pada zaman Presiden Megawati yang relatif stabil.
Maka, massa pun tidak percaya lagi aksi massa akan membawa perubahan. Dengan demikian, kampanye pemilu tidak bisa memicu kericuhan.
Pemilu 2004 berbeda
Hal lain yang kurang dicermati pengamat adalah Pemilu 2004 berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Perbedaannya bukan hanya dalam pemilihan anggota DPD dan pemilihan presiden langsung, tetapi keseluruhan proses pelaksanaan yang tidak lagi dijalankan pemerintah dan aparat keamanan saja, tetapi oleh pihak-pihak independen nonpemerintah, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwas).
Dengan adanya anggota-anggota KPU dan Panwas, dari pusat sampai daerah yang independen dan di-fit and proper: DPR/DPRD sendiri, maka tidak ada yang bisa dijadikan sasaran kemarahan massa jika terjadi sesuatu. Kedaulatan rakyat sudah diberi kesempatan untuk melaksanakan sepenuhnya, dan jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaan, rakyat sendirilah yang salah, bukan orang lain. Apalagi pemerintahnya (dari presiden sampai menteri-menteri) hampir seluruhnya adalah orang-orang partai belaka.
Kesadaran yang begitu tinggi, tak akan mungkin terjadi tanpa ada keterbukaan pers yang sudah terlaksana sejak era reformasi. Meski kadang pers kebablasan, kebebasan pers yang sudah dipraktikkan mau tidak mau telah memberi informasi amat banyak, dan lengkap kepada masyarakat. Hal yang tidak pernah terjadi di era serba sensor semasa Orde Baru.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ramalan-ramalan tentang rusuh massa yang bakal terjadi dalam Pemilu 2004, lebih didasarkan paradigma lama, khususnya pada prakiraan-prakiraan yang dikembangkan dari pemikiran dan perasaan sendiri. Padahal, massa mempunyai pemikiran dan perasaan berbeda. Dengan kata lain, massa punya psikologi sendiri.
Sarlito Wirawan Sarwono Guru Besar Psikologi UISumber: Kompas Cyber Media

Perilaku Kekerasan pada Anak: Apakah hukuman saja cukup?

Perilaku Kekerasan pada Anak: Apakah hukuman saja cukup?
Akhir-akhir ini media dihebohkan dengan maraknya pemberitaan kekerasan terhadap anak-anak. Dalam berbagai berita dikesankan bahwa seolah-olah kekerasan seperti itu meningkat drastis aknir-akhir ini. Ini tentu tidak benar, kekerasan terhadap anak dalam segala bentuk dan kualitasnya telah lama terjadi di komunitas kita. Berita-berita tersebut makin marak karena semakin baiknya kinerja wartawan dan kejenuhan pemirsa terhadap berbagai berita politk dan social yang mengisi wahana informasi publik.
Apakah, pemberitaan itu juga mencerminkan perhatian publik yang makin serius dengan persoalan ini? Hal ini susah diukur, karena sejak lama kita telah disuguhi dengan berbagai kasus kekerasan terhadap anak yang tingkat kesadisannya bervariasi, tetapi komunitas terpelajar dan pengembang kebijakan “tenang-tenang” saja, seperti menderita sindroma ketakberdayaan.

Diberlakukannya UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak seolah menjadi antiklimaks dari banyak aktivis perlindungan anak. Padahal UU ini saja tidak cukup untuk menurunkan tingkat kejadian kekerasan pada anak. UU ini juga belum dapat diharapkan untuk mempunyai efek deteren karena belum banyak dikenal oleh aparat maupun masyarakat. Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak akan tetap berlanjut dan jumlah kejadiannya tidak akan menurun karena sikon hidup saat ini sangat sulit dan kesulitan ekonomi akan memicu berbagai ketegangan dalam rumah tangga yang akan merugikan pihak-pihak yang paling lemah dalam keluarga itu. Anak adalah pihak yang paling lemah dibanding anggota keluarga yang lain.
Untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak memang diperlukan berbagai tindakan sekaligus. Di Malaysia, misalnya selain UU perlindungan anak dan KDRT yang telah ada, dengan segera pemerintah kerajaan membuat sebuah sistem deteksi dini, rujukan, penanganan terpadu untuk menanggapi masalah kekerasaan. Di Malaysia sejak awal tahu 90-an telah dibentuk SCAN TEAM ( Suspected Child Abuse and Neglect Team ) yang keberadaannya diakui oleh seluruh jajaran pemerintahan sampai pada tingkat RT dan anggota teamnya terdiri dari relawan masyarakat dan pegawai kerajaan, serta anggota kepolisian dan profesi kesehatan. Setiap kasusu ditangani secara terpadu dan semua pemeriksaan, termasuk pemeriksaan kesehatan biayanya ditanggung oleh pemerintah federal. Dengan sistem seperti ini, masyarakat tahu apa yang mereka harus perbuat dan tidak ragu-ragu untuk mengambil tindakan ketika menyaksikan peristiwa kekerasaan terhadap anak.
Di Indonesia sistem seperti itu belum ada, kita mempunyai pihak-pihak yang dianggap berwenang dan berkompeten dalam menangani kasus-kasus kekerasaan seperti tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan sampai pada tingkat kelurahan, kepolisian, pekerja sosial masyarakat, pendidik, dan profesi kesehatan – tetapi peranan mereka tidak diatur salam sebuah sistem yang memungkinkan mereka saling bekerja sama dan tidak ada kebijakan pemerintah yang membebaskan biaya terhadap tindakan yang diambil untuk meyelamatkan anak. Oleh karena itu jangan heran jika masyarakat tidak tahu apa yang mereka perbuat, takut, atau ragu-ragu untuk melaporkan dan mengambil tindakan jika melihat peristiwa kekerasan tehadap anak.
Hal lain yang perlu dipikirkan adalah apa yang harus dilakukan terhadap pelaku kekerasaan. Dari berbagai pemberitaan yang muncul di media massa, tidak diketahuia apakah para pelaku adalah orang-orang yang mengalami gangguan emosional serius atau pernah menjadi korban kekerasaan pada waktu mereka masih kanak-kanak. Yang tampak jelas adalah bahwa pelaku kekerasaan adalah orang tua yang mengalami tekanan ekonomi cukup berat dan persoalan relasi gender. Untuk itu hukuman yang didasarkan atas UU saja tentu tidak cukup.
Mengatasi kekerasan terhadap anak yang cukup endemik di Indonesia pasti tidak cukup dengan menghukum para pelakunya saja. Advokasi dan pendidikan masyarakat yang intensif sangat dibutuhkan, demikian juga penanganan sosial psikologis terhadap pelaku. Setiap pelaku kekerasaan seperti yang diberitakan oleh media akan menerima berbagai bentuk hukuman baik dari rasa bersalah terhadap dirinya sendiri, dari keluarga dan masyarakat sekitarnya dan dari instansi peradilan. Semua bentuk hukuman ini tidak akan membuat para pelaku jera untuk melakukannya lagi karena tindak kekerasaan terhadap anak merupakan masalah kognitif ( cara berfikir ), perilaku ( terbentuknya kebiasaan untuk bereaksi terhadap perilaku anak ), dan sosial kultural ( adanya keyakinan dan praktik-praktik yang memperoleh legitimasi dan restu masyarakat ). Agar tindakan kekerasaan itu tidak berulang kembali maka para pelaku harus dibantu untuk mengatasi berbagai persoalan dalam ranah-ranah tersebut. Tentu ini bukan pekerjaan mudah dan akan memakan waktu cukup lama. Akan tetapi tanpa tindakan seperti itu mereka akan tetap berpotensi untuk melakukan kekerasaan.
Karena sistem perlindungan untuk anak masih lemah dan advokasi masalah tersebut seolah jalan ditempat, maka kita perlu berpikir kreatif. Antara lain, kita perlu memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan para pelaku kekerasan untuk memberikan pendidikan masyarakat. Kiat ini tentunya akan menuai kontroversi. Bagi saya pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang-orang yang sering kali tidak mampu mengatasi nasibnya sendiri untuk menjadi warga masyarakat yang baik. Mereka, sebagaimana kriminal yang lain juga, dalam perjalanan hidupnya kemungkinan besar pernah menjadi korban. Pada saat itu tak seorangpun datang untuk menolong mereka sehingga mereka tumbuh dan berkembang dengan keyakinan bahwa kemalanagan itu dan segala kekerasaan yang diterimanya memang menjadi bagian dari hidupnya.
Bantuan sosial-psikologis terhadap pelaku kekerasan dalam persoalan KDRT, seharusnya menjadi bagian integral dalam prevensi primer dan sekunder. Melalui bantuan seperti itu, kita mencegah mereka mengulang tindakannya. Selain itu, beberapa di antaranya mungkin dapat diberdayakan untuk keluar dari stigmatisasi masyarakat dan siksaan batinnya untuk membantu orang lain agar tidak melakukan kekerasan pada anak. Mereka adalah sumber yang dapat dipercaya karena mereka pernah dalam keadaan emosional dan mental yang menjadikan mereka tidak lebih baik dari binatang. Mereka adalah manusia-manusia yang pernah bersentuhan dengan bagian yang paling gelap dari sifat kemanusiaan mereka. Jika pengalaman mereka dapat direkonstruksi menjadi enerji positif untuk mengatasi masalah yang amat kompleks dan sulit ini, bukankah ini jauh lebih baik dari pada tenggelam dalam lingakaran setan hukuman dan kekerasan? Jika rasa bersalah atau kemarahan yang ada pada pelaku kekerasan dapat kita kemas ulang menjadi kepedulian dan tanggung jawab, bukankah ini ”bayaran” yang lebih dari cukup dari kekejamannya? Bersamaan dengan itu, kita jelas harus membangun sistem perlindungan yang betul-betul user’s friendly. Mari kita renungkan bersama.
Irwanto, Dosen Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya, Jakarta.
Sumber: Himpsi Jaya

konsep kerja Cerdas

Mula-mula ekonom Itali bernama Vilfredo Pareto (1848 - 1923) itu baru setengah kaget dengan hasil penelitiannya. Bahwa 80% kekayaan negara hanya dinikmati oleh 20% kelompok tertentu dari penduduk. Dengan kata lain, 80% dari penduduk hanya berkesempatan menikmati 20% dari kekayaan negara. Katakanlah kalau diasumsikan jumlah penduduk seluruhnya mencapai 100 juta jiwa, berarti hanya 20 juta jiwa yang kaya raya dengan mendapat 80% kekayaan negara. Sisa penduduk yang berjumlah 80 juta jiwa hidup pas-pasan karena kue negara yang hanya 20% harus dibagi-bagi. Karena setengah kaget dengan hasil penelitian tersebut, Pareto kemudian mengadakan penelitian di lain negara, ternyata hasilnya sama atau hampir sama.
Hasil penelitian Pareto ini sejak tahun 1897 akhirnya diresmikan menjadi sebuah rumus atau formula dengan berbagai macam nama: Pareto Principle; The Pareto Law; The 80/20 rule; The Principle of Least Effort; atau The principle of Imbalance. Konon karena Pareto dinilai kurang artikulatif dalam menjajakan temuannya ini berdasarkan perkembangan metodologi dan konteks penelitian, akhirnya mendorong para pakar untuk ikut terjun melengkapi rumus atau temuan yang dinilai sangat berguna bagi pencerahan peradaban manusia ini. Tahun 1949, George K Zipf, seorang professor dari Harvard University, mengembangkan wilayah penelitian dengan menjadikan temuan Pareto sebagai acuan. Hasilnya bahwa manusia, benda-benda, waktu, keahlian, atau semua alat produksi telah memiliki aturan alamiah yang berkaitan antara hasil dan aktivitas dengan jumlah perbandingan mulai dari 80/20 atau 70/30. Contoh:

Karena dianggap memberi pencerahan, rumus tersebut lalu diterapkan ke dalam pengembangan pribadi . Ternyata para pakar di bidangnya masing-masing menemukan sesuatu yang kira-kira sama dengan temuan Pareto. Artinya jika bicara hasil, ketepatan proses, dan kualitas maka hal-hal tersebut erat hubungannya dengan how well atau how good are you doing, bukan how often dan how long. Dengan kata lain hasil yang diperoleh ditentukan sejauhmana anda bisa bekerja secara cerdas. Beberapa contoh:
· Dalam dunia bisnis, untuk merebut pasar anda harus berpikir minimalistis dalam arti ketepatan strategi yang tidak melebihi kebutuhan pasar. Artinya temukan 20% dari strategi yang bisa merebut 80% daya tarik pasar dengan memberi 80% premiun solusi kepada 20% pelanggan setia. Jangan mengobral strategi yang justru menghabiskan 80% cost padahal hanya akan menciptakan 20% rate of return (Mack Hanan, dalam Fast Growth Strategy, McGraw-Hill International, Singapore, 1987).
· Penelitian dalam hal efektivitas dan efisiensi waktu menemukan bahwa 80% prestasi seseorang di bidang apapun diraih dari 20% waktu yang dikeluarkan. Dan 80% kebahagian hidup ditentukan dari 20% waktu yang digunakan untuk mencarinya. Tanyalah pada diri anda, berapa jumlah waktu yang benar-benar anda gunakan dalam kaitan dengan tujuan anda pergi ke kantor selain waktu macet, ngobrol, atau melamun, atau membicarakan persoalan lain dengan kawan kerja? Jika jawaban anda ternyata menggunakan rumus yang sebaliknya maka anda tidak memiliki perbedaan dengan orang lain dan itu smaa artinya bahwa anda belum menerapkan cara kerja cerdas.

Aplikasi Kerja Cerdas
Sebagai bangsa yang agamis sekaligus kaya budaya leluhur, sebenarnya seruan kerja cerdas ini bukanlah barang baru. Tetapi persoalannya lagi - lagi berupa tools yang tidak di-update. Selain disampaikan dengan "bahasa langit" yang seringkali menafikan proses pemahaman secara ilmiah dan alamiah pun juga tidak dilakukan elaborasi kontekstual. Akibatnya pemahaman tentang ajaran agama dan budaya hanya bekerja pada persoalan yang bersifat minoritas dalam kehidupan nyata. Sebelum Pareto mengumumkan hasil penelitiannya dengan formula 80/20, kita sudah diajarkan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan mubazir atau yang tidak perlu. Sayangnya, ajaran mubazir yang kita pahami hanya sebatas kalau kita membuang makanan yang tersisa. Amat jarang kita berpikir mubazir secara profesi, ekonomi, atau strategi.
Untuk menjauhkan diri dari tindakan yang mubazir dalam kaitan dengan realisasi kerja cerdas harus dimulai dari langkah-langkah berikut:
1. Fokus pada skala pengembangan
Jika anda yakin bahwa diri anda memiliki keunggulan atau bakat alamiah, disamping memiliki kelemahan yang diakibatkan oleh faktor heriditas atau lingkungan, maka yang benar-benar anda butuhkan adalah hidup dengan keunggulan tersebut secara cerdas (living with the advantage competitive factors). Hanya jika anda menemukan strategi hidup dengan keunggulan, maka anda akan keluar dari batas rata-rata prestasi lingkungan. Sebelum itu, paling maksimal yang bisa anda capai adalah kualitas hidup seperti orang lain atau seperti yang diraih oleh sepuluh orang yang anda kenal paling dekat. Lalu ke mana keunggulan tersebut diarahkan? Jelas, keunggulan itu harus diarahkan untuk mengoptimalkan apa yang disebut dalam rumusan Pareto dengan 20% of determining factors (factor penentu). Oleh karena itu, temukan apa saja yang menjadi faktor penentu keberhasilan anda dari sekian daftar kegiatan yang anda lakukan dalam hidup. Tinggalkan hal-hal yang tidak perlu dan fgokuskan hanya pada hal-hal yang berpotensi untuk pengembangan diri.

2. Berani Berkorban
Di dalam dunia yang sebesar ini terdapat sekian banyak "persoalan kecil" yang kalau anda tidak berani berkorban untuk memaafkannya bisa jadi persoalan itu akan mendominasi muatan pikiran anda yang akhirnya bisa membuat anda melupakan sisi keunggulan, cita-cita, fokus pengembangan diri, dan lain-lain. Contoh yang paling sederhana dan sering terjadi di depan mata kita adalah ketika sedang di jalan raya. Di luar dari persoalan tabrakan serius, terkadang hanya karena mobilnya tersenggol sedikit saja orang rela membuang banyak waktu dan kebahagiannya pergi ke kantor. Bahkan bisa berkembang ke arah baku hantam. Padahal kalau dimaafkan (mau berkorban sedikit dengan kehilangan uang beberapa ratus ribu saja untuk memperbaiki mobil yang lecet), maka semua urusan selesai.
Auditlah pikiran anda, persoalan apa saja yang kalau anda memaafkannya tidak akan merugikan anda secara misi atau visi dan tidak mengganti isi pikiran anda dengan muatan negatif. Untuk mengetahui apakah persoalan yang sedang anda hadapi tidak akan merugikan anda , gunakan standard audit berikut:
· Apa saja yang menurut anda menjadi prioritas utama dalam kehidupan
· Apa saja yang menurut anda didefinisikan sebagai persoalan penting dan tidak penting
· Apa saja yang menurut anda didefinisikan sebagai persoalan darurat dan tidak darurat yang bisa jadi tidak penting dan tidak prioritas
· Apa saja yang menurut anda didefinisikan sebagai persoalan "sampah" - tidak penting, tidak mendesak dan bukan prioritas utama. Namun dalam hal ini anda perlu menyeleksi secara ketat dan hati-hati, sebab bahayanya kalau anda secara mudah memasukan persoalan ke tong sampah ini maka anda bisa terjebak untuk meninggalkan misi atau fokus hidup hanya karena alasan mempertahankan posisi atau kondisi yang ada. Jika anda terjebak maka akhirnya rumus yang terjadi bukanlah 80/20 tetapi sebaliknya.

3. Membuat Sekat Pembatas
Pada akhirnya anda harus menentukan batasan-batasan tentang apa yang ingin dicapai, bagaimana mencapainya, apa modal yang dimiliki, dan akan kemana anda mengarahkan hidup anda. Dalam proses inilah terjadi seleksi dan pengecualian. Dari sekian luas dunia dan isinya, apa saja yang telah anda seleksi menjadi hal yang benar-benar anda inginkan sesuai format pondasi personal anda seperti: kiblat hidup, cita-cita, tujuan, target dan tindakan.
Semakin jelas anda memiliki format seleksi dan pengecualian, fokus pada pengembangan diri diiringi keberanian berkorban dengan memahami, mengakui, membuang sesuatu yang tidak dibutuhkan dalam diri anda, maka akan semakin jelas wilayah dunia yang menjadi "hak" anda sehingga semakin tersimpulkan apa yang menjadi determining factors to success itu. Artinya faktor penentu semakin sedikit dan semakin sederhana dan biasanya yang sederhana itu justru akan bisa bekerja optimal. Sementara yang cenderung pelik, ruwet dan kompleks biasanya mandul. Semoga berguna.

Oleh Ubaydillah, AN Sumber: Informasi Psikologi Online

Jumat, 16 Januari 2009

makalah psikologi umum

Bab. 1 SEJARAH PSIKOLOGI
Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, psikologi melalui sebuah perjalanan panjang. Bahkan sebelum Wundt mendeklarasiikan laboratoriumnya tahun 1879 – yang dipandang sebagai kelahiran psikologi sebagai ilmu – pandangan tentang manusia dapat ditelusuri jauh ke masa Yunani kuno. Dapat dikatakan bahwa sejarah psikologi sejalan dengan perkembangan intelekstual di Eropa, dan mendapatkan bentuk pragmatisnya di benua Amerika.
Berdasarkan pandangan tersebut, bagian Sejarah Psikologi ini akan dibagi ke dalam beberapa periode dengan berbagai tokohnya.
A. PSIKOLOGI SEBAGAI BAGIAN DARI FILSAFAT
a.1. Masa Yunani
Pendekatan dan orientasi filsafat masa Yunani yang terarah pada eksplorasi alam, empirical observations, ditandai dengan kemajuan di bidang astronomi dan matematika, meletakkan dasar ciri natural science pada psikologi, yaitu objective, experimentation and observation, the real activity of living organism. Pertanyaan utama yang selalu berulang :
Why do we behave as we do?Why are we able to generate reasonable explanation of some actions but not of others?Why do we have moods?Why do we seem to know what we know?
Efforts to find ‘the cause’.Comte: causal explanation adalah indikator untuk perkembangan tahap intelektual bagi peradaban manusiaMasa Pra Yunani Kuno : tahap intelektual masih primitive yaitu theological/animism : atribusi ‘the cause’ pada dewa-dewa atau spiritual power. Contoh : Mesir

Manusia adalah pihak yang lemah. Perilaku ditentukan oleh kekuatan para spirit, maka tugas utama manusia adalah menjaga hubungan baik dengan mereka dengan cara menjunjung tinggi otoritas para spirit.
Kejayaan masa Yunani ditandai oleh pemikiran dari tiga filsuf besar: Socrates, Plato, Aristoteles; walau masih dipengaruhi pemikiran-pemikiran masa sebelumnya (masa Yunani Kuno).
a.2. Masa Yunani Kuno (Cosmological Period)
Adalah masa transisi dari pola pikir animisime ke awal dari natural science.
Penentu aktivitas manusia adalah alam atau lingkungan. Pada masa ini perilaku manusia berusaha diterangkan melalui prinsip-prinsip alam atau prinsip yang dianalogikan dengan gejala alam.
Ada 5 orientasi : naturalistic, biological, mathematical, eclectic, dan humanistic.

1. Naturalistic:
Adanya elemen dasar bagi penentu kehidupan. Contoh : Thales (air), Anaximenes (udara). Ide ttg permanence vs change dari zat yang dianalogikan kepada aktivitias manusia, menimbulkan ide ttg jiwa Pola pikir deduktif : generalisasi gejala alam pada perilaku manusia
2. Biologic :
Mengangkat posisi manusia di atas gejala alam yang lain, memisahkan proses-proses pada manusia dari proses-proses yang ada pada mahluk lain di alam.Proses-proses fisiologis primer untuk menjelaskan perilaku manusiaTokoh : Hippocrates, Alcmeon, Empedocles.
3. Mathematical :Pendekatan yang melangkah lebih jauh dari dasar dunia fisik, mengarahkan pada hal-hal yang logis tapi abstrak, merupakan bekal bagi kekuatan reason.
4. Eclectic :
Menentang ide adanya suatu prinsip dasar dan ‘kebenaran umum’. Idenya sangat mendasar berbeda dari orientasi lainnya. Menekankan pada informasi sensoris, sangat operasional dan praktis Sikap ilmuwan harus skeptic Tokoh : The sophists- universal lecturers

5. Humanistic :Fokus : rationality & intentionality. Ratio adalah penentu kehidupan manusia beserta segala konsekuensinya. Tokoh utama : Socrates.Tokoh penerus Socrates : Plato & Aristoteles
Ketiga tokoh tersebut : search for framework of human knowledge. Peletak dasar bagi kerangka pikir tipikal barat : rational, logic, objective.Disebarluaskan oleh Alexander Agung (murid Aristoteles) melalui ekspansi militer.
b. Socrates
Sering disebut sebagai filsuf kontroversial, dangerous man for values of the day.Faktanya : Tujuan utama Socrates adalah quest for the nature of true virtue and goodness a moral philosopher, “midfive” to knowledge of virtue
Typical Socratic Questions :What is justice ? What is beauty ?What is courage ? What is the good?
Virtue and knowledge sudah ada dalam diri seseorang, manusia dpt melakukan penilaian ttg. Baik-buruk secara intuitive meskipun mungkin tidak tahu mengapa, latent knowledge.
Action : pra-theory
c. Plato
Murid Socrates, berbeda dgn gurunya, datang dari keluarga terpandang dan terpelajar. Menciptakan bidang epistemology, the study of knowledge, yang dalam psikologi berkembang menjadi psikologi kognitif.


c.1. What is knowledge? What is truth?
· Knowledge is true all times and in all places. Kebenaran ada pada paparan Being, tidak bisa ditemukan dalam materi dan penginderaan yang selalu berubah dalam dunia materi. Observasi manusia tidak bisa dipercaya karena bersifat subyektif dan tidak obyektif. Maka Plato tidak percaya pada persepsi dan penginderaan.
· Knowledge has to be rationally justifiable Kebenaran ada pada dunia ide (the Forms). Bentuk yang paling sempurna hanya ada pada ide, konsep yang terbentuk dari hal nyata tidak pernah sempurna, mendekati ide selalu, misalnya, ide tentang “lingkaran sempurna” hanya ada di benak kita dan semua lingkaran tidak pernah mendekati sempurna. Karena hanya idelah yang bisa dibuktikan secara rasional.

Dengan pandangan-pandangannya ini, Plato dikenal sebagai seorang dualist, memisahkan antara dunia ide dan materi.

c.2. Why do we act as we do?
Selain sebagai seorang epistemologist, Plato juga meneruskan tradisi gurunya sebagai seorang moral philosopher. Fokus penggaliannya juga bergerak sekitar human motivation.
Plato mendefinisikan tiga tingkatan soul :
1. rational soul : located in the head, the highest level, perfect.
2. spirited soul : located in the chest, noble things like glory and immortality of fame, capable of shame and guilt
3. desiring soul: located in the belly and below :irrational impulses, such as food, sex, desire for money.
Ketiga soul di atas yang mendorong orang untuk bertingkah laku. Berdasarkan tingkatan ketiga soul di atas, kelompok masyarakat terbagi atas tiga kelas juga.
1. Guardians : kelompok filsuf, rational soul, kelompok elit dan berhak memerintah karena academic education dan innate greatness.
2. Auxiliaries : kelompok tentara, tugas utama adalah membela negara dan menjaga kelancara administrasi negara
3. Productive Class : kelompok pekerja, pedagang, buruh. Didorong oleh impuls rasional. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sambil menyediakan jasa bagi kedua kelompok lainnya.
Kritik : dalam kenyataannya penggambaran ketiga kelas ini sulit dipertanggungjawabkan konsistensinya, misalnya kelompok productive dan auxiliaries juga memiliki kemampuan reason, misalnya untuk kalkulasi dan perencanaan pekerjaannya.
Sumbangan bagi psikologi/science : penekanannya pada rationalitas dan objektivitas dari pengetahuan/ilmu dapat dikatakan meletakkan dasar pengetahuan alam (science) yang sampai sekarang masih dianut. Pemahaman mengenai drives/needs yang mendorong perilaku manusia adalah dasar bagi konsep motivasi dalam psikologi. Pembagian motivasi menjadi dasar Freudian.

d. Aristoteles
Murid Plato, mendasarkan diri pada pandangan gurunya, namun kemudian mengembangkan prinsip-prinsipnya sendiri.
Aristoteles adalah seorang biologist, seorang yang sangat empiris, percaya pada hal-hal natural dan riil. Tidak seperti Plato yang senang bergerak di bidang-bidang ideal, Aristoteles adalah seorang yang down to earh.
Bagi Aristoteles, psikologi adalah ilmu tentang soul. Soul menjadi bagian vital dari individu, menggerakkan, mengarahkan perkembangan organisma, dan mengaktualisasikan organisma menjadi eksistensinya yang sekarang. The soul is the form.
Dalam hal ini Aristoteles berbeda pandangan dengan gurunya yang memisahkan idea (yang dalam konsepsi Aristoteles dapat disamakan dengan soul) dan materi. Bagi Aristoteles, soul dan materi tidak dapat dipisahkan. Materi tidak berarti tanpa soul.
Tidak semua benda di alam punya soul, hanya organisma saja, yaitu nutritive soul, sensitive soul,rational soul.
d.1. Struktur dan Fungsi dari Rational/Human soul.
1. Perception-the starting point of knowledge-has to do with form, not matter. Contoh : yang dilihat adalah lemari, bukan kayu.
2. The Special Senses, setiap indera memfokuskan diri pada karakteristik khas dari suatu obyek. Bagi Aristoteles, indera kita menangkap karakteristik tersebut dan mencatatnya dalam benak kita, seperti apa adanya.
3. The Interior Senses, bagian penginderaan yang terletak di dalam benak kita, tidak berhubungan dengan dunia luar, namun masih memiliki kontak dengan pengalaman sensasi.
4. Common Sense, bagian yang mengintegrasikan berbagai sensasi yang kita terima sehingga menjadi suatu gambaran utuh dan terintegrasi mengenai dunia kita, terletak di hati. Common sense dan imagination membentuk penilaian kita yang akhirnya Membantu kita menginterpretasikan pengalaman inderawi kita
5. Memory, image yang utuh mengenai obyek sampai ke memory dan disimpan di sana. Fungsi utama memory adalah merepresentasikan kembali obyek tersebut, tanpa harus disertai kehadiran riil dari obyek nyata tersebut. Juga menghasilkan judgement, perasaan suka/tidak suka yang akhirnya akan mendorong munculnya perilaku.
6. Mind, bagian yang paling rational, hanya dimiliki oleh manusia. Jadi pada binatang, informasi hanya sampai pada memory. Mind berfungsi untuk membentuk abstraksi dari representasi-representasi obyek yang sampai ke memory. Dengan kata lain, membentuk pengetahuan (knowledge).
7. Passive mind adalah potensial, tidak memiliki karakter tersendiri. Apa yang ada di dalamnya baru teraktualisasi menjadi pengetahuan melalui active mind. Active mind bergerak mengolah isi dari passive mind, abadi, dan kekal. Bagian ini tidak tergantung dari tubuh dan ada pada semua manusia.
8. MotivationDibedakan antara motivasi pada hewan (appetite) dan motivasi pada manusia (wish). Manusia mengerti baik-buruk jadi konflik motivasionalnya bersifat moral ethic, sementara hewan bersifat pleasurable.

B. Masa Abad Pertengahan
1. AKHIR MASA HELLENISTIC
Pendekatan natural science dari Aristoteles disebarkan oleh muridnya, Alexander the Great melalui ekspansi militer sampai ke daerah Timur. Bersamaan dengan itu mulai juga masuk pandangan belahan dunia Timur ke Barat, terutama Persia, India, dan Mesir. Dengan runtuhnya kekuasaan Alexander the Great, pengaruh timur ini semakin kuat, ditandai dengan menguatnya pandangan spiritualitas menggantikan naturalisme.
2. MASA ROMAWI
2.a. Konteks sosial :
ü Pemerintahan kekaisaran romawi yang mendunia dengan tertib administrasi kependudukan yang kuat serta jaminan akan ketentraman sosial.
ü Pemikiran tentang manusia dan alam menjadi lebih pragmatis, spesifik dan spesialis. Bangsa Romawi lebih tertarik pada ilmu pengetahuan yang teknikal dan aplikatif, seluruhnya diarahkan untuk memperkuat dominasi kekaisaran Romawi.
ü Ide-ide dan pemikiran tentang manusia berkembang subur, bahkan juga ide-ide ketuhanan
2.b. Pengaruh bagi perkembangan pemikiran tentang manusia:
ü Filsafat yang berkembang memiliki konteks yang lebih terbatas dan spesifik, serta tampak dalam bentuk yang nyata, misalnya ritual religi masyarakat Romawi.
ü Fokus yang dibicarakan :
o dikotomi aktif-pasif, apakah jiwa (yang menggambarkan manusia) adalah unsur yang aktif dan mandiri terhadap lingkungan ataukah unsur yang pasif dan hanya bisa memberi reaksi.
o dikotomi passion - reason
o manusia dipandang sebagai makhluk yang kehidupannya didorong oleh usaha untuk mencari cara ‘menguasai’ keinginan fisik melalui penolakan dunia materiil dan mencari kebenaran dalam alam dan Tuhan (Neoplatonism)
ü Pengaruh pada pemikiran tentang. nilai moral.
ü Pemikiran pada masa Romawi memberi jalan bagi berkembangnya kekristenan.

3. PENGARUH KEKRISTENAN
A. Konteks sosial :
Ø masa penyebaran agama Kristen dengan tokoh Yesus sebagai perwujudan "manusia sempurna" beserta perilakunya yang harus jadi teladan.
Ø paham Tritunggal yang mengandaikan x=3x
Ø gereja dan para ulamanya berperan penting dalam masyarakat
Ø peran gereja menjadi dominan dalam perkembangan intelektualitas di masyarakat, banyak cendekiawan berlatar belakang ulama.
Ø secara gradual, gereja menjadi penentu nilai di masyarakat dan berhak melakukan sensor atas tulisan atau ide yang muncul. Gereja juga adalah penyelenggara pendidikan moral. Peran gereja dirasakan kurang memuaskan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, maka muncul universitas-universitas di Eropa yang menawarkan kebebasan berpikir secara lebih luas. Terjadi pertentangan antara gereja dan masyarakat.
Ø 2. Pengaruh pada pandangan mengenai manusia :
Ø Manusia bukan hanya physical being, tetapi juga spiritual entity. Aspek spiritual tidak diatur oleh hukum alam. Jiwa manusia (soul) ada pada dunia yang tidak nyata (intangible), tidak dapat dibuktikan dengan mata, dan eksistensinya hanya dapat dibuktikan lewat percaya (iman).
Ø Menempatkan ide Plato dalam konteks kekristenan
Ø Usaha untuk menjelaskan hubungan antara body and soul sebagai suatu dualisme, bukan sst yang harus dipertentangkan, body dan soul masing-masing memiliki fungsi tersendiri.

B. BEBERAPA TOKOH
b.1. St. Agustinus
· Filsuf pertama pada masa Kekristenan.
· Tuhan adalah kebenaran yang menciptakan manusia, bumi dan surga. Jiwa manusia adalah image dari Tuhan.
· Pentingnya eksplorasi spiritualitas sebagai usaha manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Faktor materiil tidak penting, rationalitas juga tidak terlalu dapat dipercaya. Maka pandangannya betul-betul merupakan kebalikan dari pandangan natural science yang empiris dan objektif. Hanya melalui transendensi manusia dapat sedekat mungkin dengan Tuhan dan berarti juga sedekat mungkin dengan kebenaran.
· Sumbangan bagi psikologi : metode introspective. Teknik utama manusia untuk melakukan transendensi.
Dalam psikologi modern teknik ini digunakan oleh beberapa aliran besar seperti strukturalisme (teknik utama untuk menggali jiwa manusia), gestalt, dan psikoanalisa.

b.2. Thomas Aquinas
· Mentransformasikan pandangan Aristoteles ke dalam konsep-konsep kekristenan. Apa yang dikenal sebagai reason oleh Aristoteles diterjemahkan sebagai soul oleh Aquinas. Maka soul adalah sesuatu yang vital bagi manusia, tujuan utamanya adalah memahami dunia, hal yang tidak dapat dilakukan oleh fisik manusia semata.
· Namun demikian, banyak act dari soul yang membutuhkan tubuh fisik manusia sebagai kekuatan yang dapat mewujudkannya.
· Sumbangan bagi science/psikologi modern :
o Pengubahan mutlak dari Aristoteles’ natural science
o Pengembangan dualisme
Sepanjang masa ini, perdebatan mengenai manusia bergeser dari topik kehidupan yang luas, hubungan antara manusia dengan lingkungannya /alam, ke arah pemahaman tentang kehidupan secara lebih spesifik, yaitu hubungan antara aspek-aspek di dalam diri manusia itu sendiri. Menunjukkan semakin mendalamnya perhatian dan concern awal mengenai manusia itu sendiri. Meskipun demikian, pengaruh kuat gereja menyebabkan pemikiran tentang manusia tidak bebas, dan otoritas ketuhanan tetap dijunjung sebagai otoritas tertinggi.
C. Masa Renaisans
Masa ini merupakan merupakan reaksi terhadap masa sebelumnya, dimana pengetahuan bersifat doktrinal di bawah pengaruh gereja dan lebih didasarkan pada iman. Reaksi ini sedemikian kuat sehingga dapat dikatakan peran nalar menggantikan peran iman, ilmu pengetahuan menggantikan tempat agama dan iman di masyarakat. Semangat pencerahan semakin tampak nyata dalam perkembangan science dan filsafat melalui menguatnya peran nalar (reason) dalam segala bidang, dikenal sebagai the age of reason. Akal budi manusia dinilai sangat tinggi dan digunakan untuk membentuk pengetahuan.
Masa Rennaissance ditandai dengan bergesernya fokus pemahaman dari God-centeredness menjadi human-centerednes, dikenal dengan istilah sekularisasi atau humanity. Tulisan-tulisan filsuf terkenal seperti Plato, Aristoteles dan lain-lain dikaji untuk melihat bagaimana pola pikir penulisnya dan konteks histories waktu tulisan itu dibuat. Maka yang dicari adalah human truth dan bukan God truth. Kesimpulan akhirnya adalah penerimaan bahwa kebenaran memiliki lebih dari satu perspektif.
Masa Renaissance diikuti oleh masa reformasi dari Luther dalam agama Kristen, yang memiliki dua arti penting. Pertama, reformasi Luther semakin melemahkan pengaruh gereja dan mendukung kemandirian manusia dalam mengelola imannya kepada Tuhan. Kedua dengan peperangan yang ditimbulkan reformasi, terungkap pula sisi negative dari kemanusiaan seperti penindasan, penderitaan, dan rasa tidak berdaya manusia.


c.1. Masa Revolusi Ilmiah
Ada beberapa pandangan penting tentang manusia pada masa ini :
Pola pikir yang lebih mekanistik dalam memandang alam dan manusia. Itu berarti alam memiliki sistem, dapat diramalkan, dan tidak tunduk pada hukum-hukum spritual belaka. Manusia juga memiliki reason, kemampuan untuk berpikir logis dan dengan demikian tidak tunduk total kepada hukum spiritual dan kesetiaan semata.
Nature philosophy : alam diatur menurut hukum yang pasti, empirik dan dapat dibuktikan lewat eksperimen. Memahami alam harus diikuti sikap mental pengujian fakta obyektif dan eksperimental.
Implikasinya adalah munculnya diskusi tentang. ‘knowledge’ yang menyebabkan perkembangan ilmu dan metode ilmiah yang maju dengan pesat. Penekanan pada fakta-fakta yang nyata daripada pemikiran yang abstrak. Ilmu-ilmu eksakta yang menggunakan pendekatan empiri menjadi semakin dominan, sesuatu yang sampai sekarang juga masih dapat dirasakan pengaruhnya. Pada masa ini ilmu fisikalah yang dikenal sebagai ‘the queen of science’, dengan munculnya fisikawan besar seperti Newton.

c.2. Pengaruh pada psikologi:
c.2.a. Sebagai bagian dari ilmu filsafat
pemikiran tentang manusia mau tidak mau ikut terpengaruh, meskipun demikian psikologi belum siap menjadi ilmu yang empiris karena diskusi tentang aktivitas manusia belum tuntas : apa yang menjadi obyek studi psikologi ? Oleh karena itu diskusi di masa ini terfokus pada hubungan soul-body dan bagaimana pengaruhnya dalam aktivitas manusia. Pandangan dua tokoh utama :
1. Rene Descartes (1596-1650)
· Menekankan pada pentingnya self-awareness terhadap pengalaman kita, cogito ergo sum. Descartes menjadi filsuf pertama yang menekankan kekuatan faktor internal manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat dipercaya, dibandingkan dengan faktor eksternal. Ide-ide spritual, pemahaman tentang dimenasi waktu dan ruang, semua bersumber dari kekuatan internal, berbeda dari tradisi berpikir filsuf sebelumnya yang menganggap pemikiran ini berasal dari lingkungan eksternal.
· Ide tentang soul-body melahirkan Cartesian dualism yang sangat populer dan digunakan oleh para filsuf lainnya juga :
ü Soul (dinyatakan dalam mind): sebuah entity yang berbeda dan terpisah dari body, lebih mudah dipahami oleh manusia karena ada proses self reflection/self awareness yang diasumsikan inherent pada manusia.
ü Body : entity fisik pada manusia yang tunduk pada prinsip mekanisme fisiologis, sama seperti yang terjadi pada hewan. Namun pada manusia, aktivitas fisik tunduk pada perintah mind.
· Dengan demikian faktor mind-lah (kemampuan untuk self-reflection) yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikannya makhluk yang secara intelektual lebih unggul.
Hubungan antara mind-body bersifat psychophysical yang berpusat pada kelenjar pineal. Proses badaniah dipelajari dalam bidang fisiologis dan aspek mind dipelajari oleh psikologi. Descartes menjadi filsuf modern pertama yang mendefiniskan obyek studi psikologi sebagai mind.
2.Gottfried Wilhelm von Leibnitz (1646 – 1716).
· Berasal dari Jerman. Tradisi filsafat Jerman sifatnya memandang proses mental secara lebih aktif. Body and soul tidak dipandang sebagai dualism, tetapi lebih dipandang sebagai aspek yang integratif dari aktivitas manusia. Mind memiliki unsur inherent yang dinamis, yang memungkinkannya berperan aktif terhadap lingkungan.
· Pandangan yang lebih aktif ini tidak lepas dari konteks politis Jerman pada masa itu yang lebih bergejolak dibandingkan Inggris, dimana masih terjadi konflik antar agama yang disertai juga dengan konflik regional (Perang 30 tahun).
· Leibnitz : “ Nothing is in the intellect that has not been in the senses, except the intellect itself”. Mind memiliki prinsip dan kategorinnya sendiri yang sifatnya innate dan esensial untuk pemahaman. Idea sifatnya innate, maka proses berpikir adalah proses yang terjadi tanpa henti , ada dimensi sadar dan tidak sadarnya.
· Konsep monad sebagai energi pendorong pada setiap makhluk. Yang juga akan menentukan keunikan individu. Pada manusia, monad ini adalah mind.

c.2.b. Usaha untuk menjadikan pengetahuan mengenai manusia menjadi empiris:
menguatkan warna ‘natural science’ dari studi mengenai manusia. Pandangan seperti ini dipegang oleh aliran empiricism.
Pandangan utamanya :
· Pengetahuan berasal dari pengalaman. Tidak mengakui adanya pengetahuan yang sifatnya bawaan. Diwakili oleh pandangan Locke tentang tabula rasa – manusia lahir bersih seperti tabula rasa dan pembentukannya tergantung banyaknya isi tabula rasa tsb.
· Pengalaman bersumber pada pengolahan manusia, mulai dari pengolahan yang sederhana seperti sensasi (Locke), persepsi sebagai satu-satunya proses pengolahan (Berkeley) hingga yang lebih kompleks dan mendalam seperti refleksi.
· Pengetahuan yang diperoleh dari pengolahan sederhana juga lebih sederhana namun lebih obyektif daripada pengetahuan yang diperoleh melalui proses mendalam. Penyebabnya adalah semakin sederhana, semakin sedikit melibatkan unsur subyektifitas manusia.
· Mulai memikirkan tentang hukum-hukum asosiasi, misalnya contiguity dan similarity (Locke,Berkeley, Hume) dan cause-effect (Hume).
· Mind diakui keberadaannya namun berbeda dari satu orang ke orang lain, karena isinya ditentukan oleh pengalaman org tsb.
· Perbedaan intensitas dalam obyektifitas, mulai dari pandangan yang hanya mengakui keberadaan dunia riil (Locke) hingga yang lebih subyektif (Berkeley dengan pandangan Tuhan sebagai sumber data dan Hume dengan penekanan pada manusia).
· Sumbangan utama pada psikologi : pengakuan adanya natural world and realistic world sehingga pengujian empiris menjadi penting, pengakuan pentingnya unsur pengalaman/lingkungan.
Tokoh-tokohWarna rasional dan empiris sangat kuat mewarnai pemikiran tokoh-tokoh empiris:
1. Thomas Hobbes (1588 – 1679)
· Filsuf ini berasal dari Inggris. Pada masanya Inggris sedang mengalami titik puncak di bidang politik dan ekonomi, muncul sebagai kekuatan nasionalis dominan di Eropa dan menguasai dunia dengan kolonisasinya. Oleh karena itu pemikiran tentang politik berkembang subur di Inggris.
· Seorang empiris sejati, menyatakan bahwa segala yang eksis dapat diamati, konsep matter and motion.
· Mind membentuk knowledge melalui asosiasi.. Sensasi yang dirasakan melalui pengalaman manusia diasosiasikan dan membentuk pengetahuan.
2. John Locke (1632-1704).
· Berasal dari negara dan konteks sosial yg sama dengan Hobbes. Juga seorang empiris yang cukup berpengaruh pada jamannya. Sebagai seorang filsuf ia juga terlibat secara aktif dalam politik.
· Hubungan soul-body : There is nothing in the mind that was not first in the senses. Faktor eksternal lebih kuat daripada faktor internal. Dikuatkan pula dengan teori tabula rasanya.
· Sensasi-self reflection-ideas. Meskipun pada awalnya mind dikembangkan melalui unsur badaniah, namun kualitas mind penting bagi Locke. Dua mekanisme mental yang penting : asosiasi dan self-reflection.
3. George Berkeley (1685 – 1753).
· Mengkritik tajam Locke, memiliki pandangan yang bertentangan dengan Locke. Seolah-olah realitas muncul dari konteks badaniah. Menurut Berkeley realitas muncul dari persepsi kita yang didorong oleh prinsip asosiasi. Jadi mind mendominasi body (seperti Descartes).
c.2.c. Asosiasionisme:
· Merupkan aliran yang berkembang dari empirism. Sumber pengetahuan masih sekitar ide dan sensasi (James Mill).
· Para ahli di bidang ini menekankan pada prinsip asosiasi sebagai mekanisme untuk mendapatkan pengalaman. Jadi isi dari mind adalah pengalaman yang didapatkan melalui proses asosiasi terhadap rangsang lingkungan. Pemikiran tentang asosiasi ini terutama berkembang di Inggris dan awal bagi penekanan pada belajar dan memori.
· Penjelasan asosiasi berfokus pada penemuan hukum-hukum asosiasi, seperti law of contiguity-informasi yang muncul bersamaan secara saling sambung menyambung akan diasosiasikan menjadi satu pengetahuan (Hartley, James Mill), law of similarity- informasi yang sama akan dikaitkan, law of intensity-adanya kombinasi dari elemen dasar yang membentuk sesuatu yang berbeda dari masing=masing elemennya (John S. Mills) . Pada intinya, penginderaan dan feelings dapat membentuk satu keterkaitan dan masuk bersama ke dalam mind sebagai satu pengetahuan, sehingga apabila salah satu muncul yang lain akan ikut dimunculkan (Bain)
· Inisiatif untuk menjelaskan proses asosiasi melalui proses fisiologis, penggambaran proses neurologis otak dan refleks syaraf, menjadi pelopor untuk physiological psychology (cth. Hartley, Bain).




B. PSIKOLOGI SEBAGAI BAGIAN DARI ILMU FAAL

Psikologi sebagai bagian dari ilmu faal muncul pada abad 19 seiring dengan kemajuan ilmu alam (natural science) . Pada fase ini pemikiran tentang manusia terus berkembang dan banyak dilakukan eksplorasi fisiologis manusia secara empiris.
Pada fase inilah mulai ada jawaban yang empirik dan ilmiah dari pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul di masa lalu:
Apa itu jiwa (soul)?
Bagaimana bentuk konkritnya?
Bagaimana mengukurnya?
Bagaimana hubungan body-soul ?
Konteks keilmuan abad 19 :
· Riset empirik yang banyak dilakukan pada bidang fisiologis mencakup : aktivitas syaraf, sensasi/penginderaan, dan fisiologis otak. Hasil riset pada ketiga bidang ini sangat signifikan membuka wawasan mengenai manusia sehingga memperkuat pandangan para ilmuwan saat itu akan pentingnya strategi empiris yang sistematis dalam setiap bidang keilmuan.
· Bagi psikologi hasil-hasil ini memberi jalan untuk membangun dasar fisiologis bagi operasi-operasi mental. Penting untuk memahami secara logis dan empiris mengenai aktivitas mental itu sendiri
· Menjelaskan posisi ilmu psikologi modern yang dekat dengan bidang kedokteran dan psikiatri.
Francis Bacon (1561-1626)
Menganjurkan metode induktif sebagai metode utama dalam science karena berangkat dari hasil observasi terhadap sesuatu yang nyata. Dengan demikian ia menantang pendapat Aristoteles dan the Scholastic bahwa metode deduktif – induktif sama kuatnya.
Dalam konteks seperti di ataslah dikatakan bahwa Bacon ‘tidak setuju’ dengan rasionalisme yang spekulatif, meskipun idenya sendiri juga sangat rasional.
Dengan kembali pada fakta yang nyata, Bacon berharap science dapat terbebas dari prinsip-prinsip yang spekulatif namun selama ini sangat kuat dipegang


Ada 3 pergerakan utama di bidang science yang mempengaruhi berdirinya psikologi sebagai ilmu mandiri dan bagaiamana perkembangan disiplin ilmu itu di abad 20 :
1. fisiologis
Kemajuan-kemajuan di bidang fisiologis, meliputi riset-riset di bidang aktivitas syaraf , sensasi, dan otak yang memberi dasar empiris bagi fungsi-fungsi yang sebelumnya dianggap fungsi dari soul (jiwa), yang juga sebelumnya dianggap sangat abstrak.
2. psikofisiologis
Psychophysics, adalah bagian dari disiplin ilmu fisiologi yang memfokuskan pada subjective experience dalam mempelajari hubungan antara stimulus fisik dan sensasinya. Sensasi yang dirasakan oleh pancaindera manusia dipandang sebagai refleksi hubungan soul-body dan tidak semata-mata dijelaskan dari sudut anatomi atau fisik saja. Psychophysics merupakan tahap transisi yang krusial antara bidang fisiologis dengan awal pemunculan psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu. Oleh karena itu para tokoh psychophysics dapat dianggap sebagai tokoh pendiri psikologi.

3. evolusi
Evolusi, yang dikemukakan oleh Charles Darwin (1809-1882) merupakan titik penting dalam pemikiran mengenai manusia karena mengajukan ide bahwa keberadaan manusia merupakan bagian dari proses adaptasi makhluk hidup dengan alam, manusia bukan secara spesial diciptakan dan dengan demikian perbedaannya dengan makhluk lain hanya bersifat gradual, bukan kualitas. Pandangan ini penting dan relevan sekali bagi perkembangan psikologi, terutama memberikan ide mengenai individual difference, perbedaan antar individu juga sifatnya hanya gradual, bukan kualitas

C. PSIKOLOGI SEBAGAI ILMU MANDIRI
Konteks sosial dan intelektual
Ø Pada akhir abad 19, dengan perkembangan natural science dan metode ilmiah secara mapan sebagaimana diuraikan di bagian sebelumnya, konteks intelektual Eropa sudah ‘siap’ untuk menerima psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri dan formal.
Ø Tanah kelahiran psikologi adalah Jerman. Oleh karenanya munculnya psikologi tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial Jerman dan orientasi intelektual Wilhelm Wundt, orang pertama yang memproklamirkan psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu.
1. Konteks sosial Jerman
Ø Konteks ilmiah Jerman pada abad 19 ditandai dengan mulai berdirinya institusi universitas dengan misinya untuk membentuk manusia berkualitas (berbudaya dan memiliki integritas) dan penyedia tenaga kerja yang professional.
Ø Ilmu psikologi didefinisikan sebagai disiplin ilmu yang menyumbang pada pembentukan Bildungsburger, culturally educated citizens. Maka psikologi juga dipengaruhi oleh nilai-nilai kualitas manusia ideal Jerman. Sebagai sebuah ilmu yang hubungannya paling dekat dan paling langsung dengan manusia, psikologi berada di antara dua kepentingan : hubungannya dengan ilmu-ilmu yang kongkrit dan aplikatif dan hubungannya dengan ilmu-ilmu kemanusiaan seperti filasafat, teologi.
Ø Wundt sendiri menganggap psikologi sebagai bagian dari filsafat. Namun dengan berkembangnya karir pribadinya, ia mulai menentukan batas-batas yang dapat dilakukan psi. sebagai sebuah ilmu alam, khususnya psikologi eksperimen. Dasar berpikir Wundt tentang psikologi menunjukkan bagaimana posisi psikologi dalam dua kepentingan itu sendiri. Baginya kesadaran manusia (consciousness) terdiri dari elemen-elemen. Namun elemen ini tergabung dalam kesatuan yang lebih besar melalui human will.
2. Riwayat dan pemikiran Wundt.
Wilhelm Wundt (1832-1920) dilahirkan di Neckarau, Baden, Jerman, dari keluarga intelektual. Ia menamatkan studi kesarjanaannya dan memperoleh gelar doktor di bidang kedokteran dan tertarik pada riset-riset fisiologis. Ia melakukan penelitian di bidang psikofisik bersama-sama dengan Johannes Mueller an Hermann von Helmholtz. Karya utamanya pada masa-masa ini adalah Grundzuege der Physiologischen Psychologie (Principles of physiological psychology) pada tahun 1873-1874.
Wundt memperoleh posisi sebagai professor dan mengajar di Universitas Leipzig dimana ia mendirikan Psychological Institute. Laboratorium psikologi didirikan pada tahun 1879, menandai berdirinya psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu ilmiah. Di awal berdirinya laboratorium ini, Wundt membiayainya dari kantongnya sendiri sebagai sebuah usaha privat. Setelah tahun 1885, lab ini baru diakui oleh universitas dan secara resmi didanai oleh universitas. Laboratorium ini berkembang dengan pesat sebelum akhirnya gedungnya hancur dalam PD2.
Selama di Leipzing, Wundt adalah seorang pengajar yang sangat produktif, membimbing 200 mahasiswa disertasi, mengajar lebih dari 24.000 mahasisiwa, serta menulis secara teratur.Pada tahun 1900 ia memulai karya besarnya, Voelkerpsychologie, yang baru diakhirinya pada tahun 1920, tahun dimana ia wafat. Karya ini berisi pemikirannya tentang sisi lain dari psikologi, yaitu mempelajari individu dalam society, tidak hanya inidvidu dalam laboratorium. Karya ini dapat dikatakan sebagai jejak pertama Psikologi Sosial.

3. Strukturalisme: E.B. Titchener
E.B. Titchener adalah salah satu murid Wundt yang dianggap paling mendukung pandangan Wundt, meskipun sebenarnya banyak pandangan Wundt yang ditentangnya, dan akhirnya dia mengembangkan alirannya sendiri, structural psychology.

Titchener berkebangsaan Inggris. Ia belajar di Oxford dalam bidang filsafat sebelumnya beralih ke fisiologi. Berdasarkan pengalamannya menterjemahkan buku Wundt ke dalam bahasa Inggris, Titchener tertarik pada ajaran Wundt dan pindah ke Leipzig untuk menjadi murid Wundt. Setelah menempuh pendidikan di bawah Wundt dan sempat mengajar sebentar di Inggris, Wundt pindah ke Amerika, mengajar di Cornell University hingga akhir hayatnya di tahun 1927. Selama masa tinggalnya di Amerika ini structural psychology yang dijalaninya menemukan tantangan pada aliran Psikologi lainnya yang khas Amerika, seperti fungsionalisme dan behaviorisme. Namun Titchener tidak terpengaruh kepada dua aliran besar tsb dan tetap berpegang pada strukturalisme hingga akhir hayatnya.

Aliran strukturalisme mendasarkan diri pada konsep utama Titchener, yaitu sensation. Konsep utama ini membawanya kepada pertentangan dengan Wundt dan konsep apperceptionnya. Berbeda dengan apperception yang merupakan hasil kesimpulan, sehingga masih memungkinkan subyektivitas, sensation adalah hasil pengalaman langsung, sehingga lebih obyektif. Lagipula proses atensi yang menjadi fungsi apperception selalu dapat dikembalikan kepda sensasi menurut Titchener
Tiga pemikiran utama strukturalisme Titchener:
Ø Identifikasi elemen sensation yang mendasar. Semua proses mental yang kompleks dapat direduksi ke dalam elemen mendasar ini. Sebagai contoh, Titchener menemukan 30.500 elemen visual, empat elemen pengecap, dsb. Titchener menggunakan metode experimental introspection untuk menggali elemen sensasi dasar ini, metode yang dipelajarinya dari Wundt. Namun di tangan Titchener, metode ini lebih elaboratif, karena sifatnya tidak hanya deskriptif tetapi juga analisis yang retrospektif.
Ø Identifikasi bagaimana elemen dasar sensasi ini saling berhubungan untuk membentuk persepsi, ide dan image yang kompleks. Hubungan ini bersifat dinamis dan selalu berubah sesuai dengan berubahnya elemen dasar, jadi bukan proses asosiasi.
Ø Menjelaskan bekerjanya mind. Titchener tidak setuju bahwa mind dijelaskan melalui proses psikologis (higher mental process) seperti yang dilakukan Wundt. Mind harus dijelaskan berdasarkan proses fisiologis, yaitu aktivitas sistem syaraf. Karena proses fisiologis lebih observable daripada proses psikologis.
Ø Aliran strukturalisme tidak berkembang menjadi aliran yang besar. Aliran ini menghilang bersamaan dengan wafatnya Titchener.

Memasuki abad ke-20, psikologi berkembang dalam berbagai school of thought. Kalau Wundt meletakkan dasar bagi psikologi dengan pandangan strukturalisme, maka selanjutnya berbagai aliran utama yang muncul adalah sebagai berikut.
· Fungsionalisme
· Behaviorisme
· Psikoanalisa
· Psikologi Gestalt
· Psikologi Humanistik


Bab 2. ARTI PSIKOLOGI


DEFINISI UMUM PSIKOLOGI :
PSYCHOLOGY...is the scientific study of behavior, both external observable action and internal thought.
Definisi di atas menggambarkan ruang lingkup psikologi.
1. Psychologi is a science.
o It is defined not by what it is studied, but by how it is studied.
o Ilmiah, terukur, objektif, dapat digeneralisasi.
o Seringkali mengesankan bahwa studi psikologi harus bersifat kuantitatif.
2. Not all behavior is directly observable.
· What kind of behavior ?
( berbagai ekspresi tingkah laku: verbal, grafis, motorik/kinestetik).
· What level of consciousness?
(conscious, subconscious, unconcious)
· Whose behavior ?
(anima vegetativa, anima sensitiva, anima intelektiva).

Psychology berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari dua kata yaitu:
· psyche = soul, mind (jiwa)
· logos = ilmu
Jadi, arti berdasarkan komponen katanya adalah: The study of soul / mind.
Dasarnya dari Filsafat, sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya.

PSIKOLOGI harus dipahami sebagai usaha manusia untuk memahami MANUSIA itu sendiri.
1. Merupakan sebuah proses pendefinisian yang sinambung.
psyche & logos (Psikologi = ilmu jiwa)
· C.G. Jung : anemos, animus, anima, ruh, rih

Karakteriologi & tipologi
Psikologi sebagai ilmu tentang ekspresi jiwa
Psikologi Sebagai Ilmu Tentang Tingkah Laku.
2. Menyebabkan psikologi selalu harus bersinggungan dengan disiplin ilmu lain. Psikologi tidak akan pernah mencapai tujuannya dengan berdiri sendiri, selalu harus terkait dengan ilmu lain.
Masa pra-ilmu mandiri : berakar pada Filsafat dan Biologi
Bagian dari Filsafat yang bersinggungan:
· epistemology : how human beings know the world?
Terwujud dalam topik-topik sensasi, persepsi, memori, thinking: domain psikologi kognitif
· ethics : conception of human nature : are people by nature good? What motives do people have? Are people social by nature?
Terwujud dalam studi-studi tentang motivasi, emosi, social behavior, beserta terapannya dalam konteks psikologi konseling, psikologi terapan, dan lain-lain.
Bagian dari Biologi : cabang ilmu evolusi / faal : why should we be conscious at all? Were animals conscious? Berkembang menjadi neuropsychology, faal.
Masa sebagai ilmu mandiri: lintas disiplin dengan Sosiologi, Antropologi, Kedokteran/Psikiatri, dan lain-lain.
Melahirkan berbagai school of thought atau ‘aliran’, mis: functionalisme, behaviorisme, psikoanalisa. Aliran-aliran ini menggambarkan perbedaan perspektif dalam memahami perilaku manusia, bukan ‘competing truth’.


Bab. 3 FUNGSI DASAR PSIKOLOGI
A. memory
Dalam lingkup ilmu Psikologi, ada beberapa teori mengenai Memori yang dikemukakan oleh para ahli. Di bawah ini akan dibahas beberapa dari teori-teori tersebut.

ASSOCIATION MODEL (MODEL ASOSIASI)
Teori awal mengenai Memori dikenal sebagai Association Model (Model Asosiasi). Menurut model ini, memori merupakan hasil dari koneksi mental antara ide dengan konsep. Tokoh yang terkenal mendukung teori ini antara lain adalah Ebbinghaus yang melakukan beberapa penelitian, antara lain mengenai fungsi lupa serta savings. Grafik di bawah menunjukkan salah satu hasil penelitian yang menunjukkan tingkat retensi yang makin rendah dengan berjalannya waktu.


COGNITIVE MODEL (MODEL KOGNITIF)
Cognitive Model (Model Kognitif) mengatakan bahwa Memori merupakan bagian dari information processing. Teori ini mencoba menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga macam Memori sebagai berikut:
1. Memori Sensoris: Memori Sensoris didefinisikan sebagai ”momentary lingering of sensory information after a stimulus is removed.” Diterjemahkan secara bebas, kalimat di atas bermakna bahwa Memori Sensoris adalah informasi sensoris yang masih tersisa sesaat setelah stimulus diambil. Tidak semua informasi yang tercatat dalam Memori Sensoris akan disimpan lebih lanjut ke Memori Jangka Pendek atau Jangka Panjang, karena manusia akan melakukan proses selective attention, yaitu memilih informasi mana yang akan diproses lebih lanjut.
2. Memori Jangka Pendek: Memori Jangka Pendek disimpan lebih lama dibanding Memori Sensoris. Memori ini berisi hal-hal yang kita sadari dalam benak kita pada saat ini. Otak kita dapat melakukan beberapa proses untuk menyimpan apa yang ada di Memori Jangka Pendek ke dalam Memori Jangka Panjang, misalnya rehearsal (mengulang-ulang informasi di dalam benak kita hingga akhirnya kita mengingatnya) atau encoding (proses di mana informasi diubah bentuknya menjadi sesuatu yang mudah diingat). Salah satu contoh konkret proses encoding adalah ketika kita melakukan chunking, seperti ketika kita mengingat nomor telepon, di mana kita akan berusaha membagi-bagi sederetan angka itu menjadi beberapa potongan yang lebih mudah diingat.
3. Memori Jangka Panjang: Memori Jangka Panjang adalah informasi-informasi yang disimpan dalam ingatan kita untuk keperluan di masa yang akan datang. Ketika kita membutuhkan informasi yang sudah berada di Memori Jangka Panjang, maka kita akan melakukan proses retrieval, yaitu proses mencari dan menemukan informasi yang dibutuhkan tersebut. Proses retrieval ini bisa berupa:
ü Recognition: Mengenali suatu stimulus yang sudah pernah dialami sebelumnya. Misalnya dalam soal pilihan berganda, siswa hanya dituntut untuk melakukan recognition karena semua pilihan jawaban sudah diberikan. Siswa hanya perlu mengenali jawaban yang benar di antara pilihan yang ada.
ü Recall: Mengingat kembali informasi yang pernah disimpan di masa yang lalu. Misalnya ketika saksi mata diminta menceritakan kembali apa yang terjadi di lokasi kecelakaan, maka saksi tersebut harus melakukan proses recal.
ü Retrieval bisa dibantu dengan adanya cue, yaitu informasi yang berhubungan dengan apa yang tersimpan di Memori Jangka Panjang. Terkadang kita merasa sudah hampir bisa menyebutkan sesuatu dari ingatan kita namun tetap tidak bisa; fenomena ini disebut tip of the tounge. Misalnya ketika kita bertemu dengan kenalan lama dan kita yakin sekali bahwa kita mengingat namanya namun tetap tidak dapat menyebutkannya.


TULVING’S THEORY OF MULTIPLE MEMORY SYSTEMS
Menurut Tulving, Memori dapat dilihat sebagai suatu hirarki yang terdiri dari tiga sistem Memori:
1. Memori Prosedural: Memori mengenai bagaimana caranya melakukan sesuatu, misalnya Memori mengenai bagaimana caranya mengupas pisang lalu memakannya. Memori ini tidak hanya dimiliki manusia, melainkan dimiliki oleh semua makhluk yang mempunyai kemampuan belajar, misalnya binatang yang mengingat bagaimana caranya melakukan akrobat di sirkus.
2. Memori Semantik: Memori mengenai fakta-fakta, misalnya Memori mengenai ibukota-ibukota Negara. Kebanyakan dari Memori Semantik berbentuk verbal.
3. Memori Episodik: Memori mengenai peristiwa-peristiwa yang pernah dialami secara pribadi oleh individu di masa yang lalu. Misalnya Memori mengenai pengalaman masa kecil seseorang.
Tulving mengajukan bukti adanya sistem memori yang terpisah-pisah seperti di atas antara lain melalui:
ü Amnesia: Adanya amnesia yang berbeda-beda, misalnya penderita amnesia yang melupakan semua Memori Episodik (pengalaman masa lalu), tapi masih mengingat Memori Prosedural.
ü Penyakit Alzheimer’s yang juga hanya menyerang sistem memori tertentu saja.

CARA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMORI

Para ahli masih memperdebatkan apakah Memori merupakan suatu trait (sifat) atau skill (kemampuan). Trait merupakan sesuatu yang stabil dan tidak dapat ditingkatkan, sedangkan skill merupakan sesuatu yang bisa dipelajari dan ditingkatkan.Orang yang memiliki kemampuan Memori yang sangat tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
ü Proses encoding yang majemuk dan bermakna.
ü Memiliki banyak cue dengan asosiasi tinggi
ü Banyak latihan
Contoh orang-orang dengan kemampuan Memori yang tinggi:
ü Steve Faloon: dapat mengingat deretan angka yang panjang
ü John Conrad: dapat mengingat pesanan makanan di restoran dengan sangat baik
ü Rajan: dapat mengingat angka phi
Bagi orang normal, ada cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan Memori, antara lain:
ü Mnemonic: Menciptakan asosiasi antar hal yang harus diingat.
ü Method of loci: Berusaha menciptakan gambaran seperti peta di benak kita dan mengasosiasikan tempat-tempat dalam peta itu dengan hal yang ingin diingat.
ü Peg word/ irama: Mengasosiasikan kata yang ingin diingat dengan kata lain yang berirama.
ü Menggunakan bayangan visual, misalnya John Conrad menggunakan bayangan visual untuk mengingat pesanan makanan dari para tamu.
ü Memahami hal yang harus diingat, dan tidak hanya menghafalkan di luar kepala. Hal yang dipahami akan diingat lebih lama daripada hafalan luar kepala.
ü Konteks ketika suatu hal sedang dipelajari sama dengan konteks ketika hal tersebut harus diingat kembali (encoding specificity)
ü Memori akan baik ketika individu merasa terlibat secara emosional, namun keterlibatan emosional tidak terlalu tinggi.
ü Menggunakan sebanyak mungkin cue ketika berusaha mengingat sesuatu.
ü Memori akan lebih baik jika sesuatu dipelajari berulang kali walaupun masing-masing sesi cukup pendek, daripada mempelajari sesuatu dalam satu sesi yang panjang. Jadi, lebih baik mempelajari sesuatu dalam 3 sesi terpisah yang masing-masing lamanya 20 menit daripada 1 sesi yang lamanya 1 jam.
ü Memori akan lebih baik jika bahan pelajaran disimpan dalam beberapa cara, misalnya mengingat suatu pelajaran baik dari segi visual maupun audio akan lebih baik daripada hanya salah satu saja.

B. Persepsi
Persepsi [perception] merupakan konsep yang sangat penting dalam psikologi, kalau bukan dikatakan yang paling penting. Melalui persepsilah manusia memandang dunianya. Apakah dunia terlihat “berwarna” cerah, pucat, atau hitam, semuanya adalah persepsi manusia yang bersangkutan. Persepsi harus dibedakan dengan sensasi [sensation]. Yang terakhir ini merupakan fungsi fisiologis, dan lebih banyak tergantung pada kematangan dan berfungsinya organ-organ sensoris. Sensasi meliputi fungsi visual, audio, penciuman dan pengecapan, serta perabaan, keseimbangan dan kendali gerak. Kesemuanya inilah yang sering disebut indera.
C. Kepribadian

Kepribadian menurut Allport adalah:
Sebuah organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya.
Sedangkan menurut Pervin dan John:
kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten.
Dalam teori-teori kepribadian, kepribadian terdiri dari antara lain trait dan tipe (type). Trait sendiri dijelaskan sebagai konstruk teoritis yang menggambarkan unit/dimensi dasar dari kepribadian. Trait menggambarkan konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar daripada trait.
Trait merupakan disposisi untuk berperilaku dalam cara tertentu, seperti yang tercermin dalam perilaku seseorang pada berbagai situasi. Teori trait merupakan teori kepribadian yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu:
· Trait merupakan pola konsisten dari pikiran, perasaan, atau tindakan yang membedakan seseorang dari yang lain, sehingga:
ü Trait relatif stabil dari waktu ke waktu
ü Trait konsisten dari situasi ke situasi
· Trait merupakan kecenderungan dasar yang menetap selama kehidupan, namun karakteristik tingkah laku dapat berubah karena:
ü ada proses adaptif
ü adanya perbedaan kekuatan, dan
ü kombinasi dari trait yang ada
Tingkat trait kepribadian dasar berubah dari masa remaja akhir hingga masa dewasa. McCrae dan Costa yakin bahwa selama periode dari usia 18 sampai 30 tahun, orang sedang berada dalam proses mengadopsi konfigurasi trait yang stabil, konfigurasi yang tetap stabil setelah usia 30 tahun (Feist, 2006).
Sehubungan dengan adanya peran genetik dalam pembentukan kepribadian, terdapat 4 pemahaman penting yang perlu diperhatikan:
1. Meskipun faktor genetik mempunyai peran penting terhadap perkembangan kepribadian, faktor non-genetik tetap mempunyai peranan bagi variasikepribadian
2. Meskipun faktor genetik merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi lingkungan, faktor non-genetik adalah faktor yang paling bertanggungjawabakan perbedaan lingkungan pada orang-orang
3. Pengalaman-pengalaman dalam keluarga adalah hal yang penting meskipun lingkungan keluarga berbeda bagi setiap anak sehubungan dengan jeniskelamin anak, urutan kelahiran, atau kejadian unik dalam kehidupan keluarga pada tiap anak.
4. Meski terdapat kontribusi genetik yang kuat terhadap trait kepribadian, tidak berarti bahwa trait itu tetap atau tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan.

Bab. 4 Tumbuh Kembang
Dalam Bab ini saya akan langsung kepada masa Remaja.
Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).
Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
Papalia & Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.
Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).
Yang dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001). Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan Olds, 2001). Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang berbeda. Ada tiga aspek perkembangan yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001), yaitu: (1) perkembangan fisik, (2) perkembangan kognitif, dan (3) perkembangan kepribadian dan sosial.

Aspek-aspek perkembangan pada masa remaja
1. Perkembangan fisik
Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001). Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).

2. Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.
Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia & Olds, 2001).
Tahap formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya.
Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001).
Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain” (Papalia dan Olds, 2001). Elkind (dalam Beyth-Marom et al., 1993; dalam Papalia & Olds, 2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel.
Personal fabel adalah "suatu cerita yang kita katakan pada diri kita sendiri mengenai diri kita sendiri, tetapi [cerita] itu tidaklah benar" . Kata fabel berarti cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta, biasanya dengan tokoh-tokoh hewan. Personal fabel biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Papalia dan Olds (2001) dengan mengutip Elkind menjelaskan “personal fable” sebagai berikut :
“Personal fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri [self-destructive] oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil [karena perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya [saat mengendarai mobil], atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs] berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya”.
Pendapat Elkind bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri, merupakan kutipan yang populer dalam penjelasan berkaitan perilaku berisiko yang dilakukan remaja (Beyth-Marom, dkk., 1993). Umumnya dikemukakan bahwa remaja biasanya dipandang memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang dipandang berbahaya tanpa kemungkinan mengalami bahaya itu.

3. Perkembangan kepribadian dan social
Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).

Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.
Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).
Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993; Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991).

Ciri-ciri Masa Remaja
Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja.
1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.
2. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
4. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.

Tugas perkembangan remaja
Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst dalam Gunarsa (1991) antara lain :
Ø memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan
Ø memperoleh peranan sosial
Ø menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif
Ø memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
Ø mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri
Ø memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan
Ø mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga
Ø membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup
Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-5 dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).
Untuk menyelesaikan krisis ini remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya.




Bab. 4 AREA TERAPAN
A. Pelatihan Di Alam Bebas
Pelatihan di alam bebas, yang sering dikenal sebagai outdoor training, merupakan salah satu metode pelatihan yang cukup populer sejak tahun 1980-an (Wagner, Baldwin, Roland, 1991). Perusahaan-perusahaan besar seperti AT&T, Xerox, General Electric, dan Marriott seringkali mengirim para eksekutif ataupun staff mereka untuk mengikuti kegiatan pelatihan di alam bebas (Long, 1987). Pelatihan tipe ini menjadi terkenal karena dianggap sangat efektif untuk mencapai berbagai tujuan pelatihan, misalnya pertumbuhan individu (Galagan, 1987) dan ketrampilan manajemen organisasi (Long, 1987). Tabel di bawah ini memberikan gambaran persentase pelatihan di alam bebas yang ingin mencapai tujuan tertentu (Wagner, Baldwin, & Roland; 1991):
Team building
90%
Self esteem
50%
Kepemimpinan
40%
Ketrampilan menyelesaikan masalah
20%
Pengambilan keputusan
15%
Tulisan ini berusaha menganalisis proses belajar yang terjadi di dalam metode pelatihan di alam bebas dan mengevaluasi efektivitasnya, terutama di dalam konteks team building dalam organisasi.

B. Proses Belajar
Dengan menggunakan berbagai teori psikologi belajar yang telah diajukan para ahli di bidang pelatihan, di bawah ini akan dibahas hal-hal yang perlu diperhatikan oleh para fasilitator pelatihan di alam bebas untuk memastikan bahwa para peserta maupun organisasi mencapai tujuannya.
Dalam tulisan Buller, Cragun, & McEvoy (1991) mengajukan bahwa pelatihan di alam bebas yang optimal harus dimulai dengan training need analysis, misalnya berupa wawancara dengan sponsor-sponsor kunci, peserta program, atau staf SDM dari perusahaan klien. Pemikiran yang sama juga diajukan oleh Long (1987) dan Petrini (1990). Mereka mengatakan bahwa pelatihan di alam bebas harus didesain sesuai dengan kebutuhan organisasi tertentu.
Usulan ini sangat sesuai dengan best practice yang diajukan oleh Goldstein (1994), yang menyatakan bahwa langkah pertama dalam melakukan persiapan pelatihan adalah melakukan training need assessment. Hasil dari proses ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun tujuan, kriteria, dan desain pelatihan.
Sebuah contoh kasus dapat memperjelas fungsi dari training need analysis. Kegiatan berjalan di jembatan tali adalah salah satu kegiatan yang cukup populer dan sering diminta oleh klien ketika mereka menggunakan metode pelatihan di alam bebas. Namun, pelatih yang baik tidak akan begitu saja memenuhi permintaan ini. Kegiatan berjalan di jembatan tali bisa jadi tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai organisasi klien. Jika tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan individu, maka kegiatan berjalan di jembatan tali bisa dipilih karena dalam kegiatan ini individu dapat menemukan karakter-karakter pribadi yang mungkin sebelumnya tidak mereka ketahui, misalnya bagaimana mereka bersikap ketika merasa stress atau bagaimana mereka dapat mengatasi rasa takut. Namun jika tujuan pelatihan adalah team building atau kepemimpinan, kegiatan berjalan di jembatan tali tidak akan sesuai karena dalam kegiatan ini tidak banyak terjadi interaksi antar anggota kelompok, sementara interaksi sosial merupakan unsure penting dalam kegiatan team building atau kepemimpinan (Petrini, 1990).
Menurut Kehoe & Bright (2003), ada empat prinsip utama yang mempengaruhi keberhasilan pelatihan: proses encoding untuk mengoptimalkan beban kognitif, memori yang membantu pembentukan skema, proses konstruktif yang mendorong interaksi antar individu, serta umpan balik yang memberikan bimbingan bagi peserta.
Keempat prinsip utama ini dapat diterapkan dalam mendesain pelatihan melalui beberapa strategi. Bagian tulisan ini akan membahas strategi-strategi yang digunakan dalam pelatihan di alam bebas.
Beban Kognitif – Pengurutan dari yang Sederhana ke yang Rumit: Teori Beban Kognitif banyak digunakan oleh para ahli pelatihan untuk mendesain presentasi informasi yang paling optimal pada waktu pelatihan (Sweller, van Merrienboer, & Paas, 1998; Paas, Renkl, & Sweller, 2003). Dalam teori ini, salah satu hal utama yang diajukan adalah bahwa manusia memiliki kemampuan memori jangka pendek yang terbatas dan keterbatasan ini harus dipertimbangkan ketika menyusun informasi yang akan dipresentasikan di dalam pelatihan sehingga tidak terjadi kelebihan beban kognitif yang akan membuat pelatihan menjadi tidak efektif. Dalam konteks pelatihan di alam bebas, beban kognitif yang sesuai dapat dicapai melalui strategi pengurutan kegiatan, pelatihan dapat diawali dengan kegiatan yang sederhana atau mudah, dan kemudian makin lama menuju kegiatan yang makin rumit atau sulit. Petrini (1990) memberikan gambaran program pelatihan di alam bebas yang diawali dengan kegiatan yang sederhana dengan problem yang mudah diselesaikan, misalnya bagaimana caranya menyebrangi rawa-rawa beracun. Menjelang akhir program, peserta pelatihan bisa diberi tugas yang jauh lebih rumit misalnya misi SAR di mana mereka harus menggunakan berbagai ilmu yang sudah didapatkan pada kegiatan-kegiatan sebelumnya (seperti navigasi dengan kompas, mengendalikan rakit, membuat tangga dari tali untuk mengevakuasi korban, dsb). Dengan pengurutan seperti ini, peserta program dapat terhindarkan dari beban kognitif yang terlalu berat pada awal pelatihan karena beban kognitif yang terlalu berat tadi dapat memberikan pengaruh negatif pada proses belajar, hasil belajar, serta motivasi (van Merrienboer, Kirschner, & Kester, 2003).

Proses Konstruktif – Elaborasi: Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam program pelatihan untuk memastikan terjadinya proses konstruktif adalah dengan memberikan kesempatan pada peserta pelatihan untuk mengelaborasi atau mencari hubungan antara materi pelatihan dengan KSA (Knowledge, Skill, dan Ability) yang sudah mereka miliki karena hal ini telah terbukti merupakan cara yang efektif untuk memastikan bahwa materi pelatihan akan diingat lebih baik oleh peserta (Kehoe & Bright, 2003). Dalam konteks pelatihan di alam bebas, strategi ini bisa digunakan pada semua kegiatan. Semua pelatihan hampir selalu diikuti dengan sesi debriefing di mana peserta diberikan kesempatan untuk memberikan komentar mereka mengenai apa yang terjadi dalam kegiatan-kegiatan pelatihan dan apakah kegiatan tersebut memiliki makna pribadi bagi mereka (Galagan, 1987). Fasilitator yang baik seharusnya dapat membimbing peserta untuk berdiskusi mengenai apakah kegiatan yang dilakukan relevan dengan tujuan pelatihan. Information processing dalam sesi debriefing ini seharusnya merupakan kunci dari proses belajar bagi peserta pelatihan di alam bebas (Buller, Cragun, & McEvoy, 1991).

Bimbingan – Penggunaan Umpan Balik: Umpan balik telah disepakati oleh para ahli sebagai bagian yang sangat penting dalam proses belajar (Kehoe & Bright, 2003). Dalam program pelatihan, umpan balik seringkali tidak diberikan secara formal oleh para fasilitator, melainkan diperoleh peserta dari kritik yang diterima (perilaku benar vs tidak benar) atau instruksi (bagaimana caranya untuk melakukan perilaku yang benar). Dalam konteks pelatihan di alam bebas, fokus lebih ditekankan pada umpan balik dari sesama peserta, terutama dalam bentuk kritik. Misalnya, Galagan (1987) memberikan contoh bahwa dalam salah satu kegiatan yang didesain khusus untuk itu, peserta diminta memberikan pendapat yang jujur mengenai sesama peserta. Diskusi dengan sendirinya terarah menjadi sesi umpan balik di mana setiap orang menerima kritik mengenai perilaku mereka dalam tim atau dalam hubungan interpersonal. Cara yang tidak seekstrim itu namun juga dapat menjadi sarana umpan balik dari sesama peserta adalah dengan memanfaatkan sesi debriefing yang diadakan setelah kegiatan selesai. Kelompok dapat diminta mengevaluasi mengapa mereka berhasil atau gagal menyelesaikan tugas yang diberikan (Petrini, 1990). Dalam sesi ini, problem di dalam kelompok akan ditemukan misalnya anggota kelompok mana yang tidak membantu (Long, 1987). Umpan balik yang efektif sebaiknya menggabungkan kritik dengan instruksi (Kehoe & Bright, 2003), karena itu sesi saling mengkritik seperti digambarkan di atas biasanya akan langsung dilanjutkan dengan sesi konstruktif di mana anggota kelompok dengan bantuan dari fasilitator mencari cara-cara untuk menghindari kesalahan yang sama pada kegiatan berikutnya. Sesi konstruktif ini juga dapat berfungsi sebagai zona netral karena sesi saling mengkritik ada kemungkinan menciptakan suasana defensif yang bisa memberikan pengaruh negatif pada prestasi kelompok. Dalam zona netral ini anggota kelompok (terutama mereka yang banyak menerima kritik) diberi kesempatan untuk berkontribusi dengan cara membantu menemukan solusi yang efektif untuk problem kelompok (Long, 1987).

Salah satu kelemahan utama dari kebanyakan modul pelatihan adalah hasil dari proses belajar selama di pelatihan tidak tampak membantu karyawan meningkatkan hasil kerja setelah kembali ke tempat kerja. Hal ini mungkin disebabkan karena pelatihan tidak didesain untuk dapat ditransfer ke tempat kerja dan juga di tempat kerja tidak memiliki retrieval triggers. Kedua hal ini akan dibahas dalam paragraf-paragraf berikut ini.
Hasil belajar yang tidak dapat ditransfer ke tempat kerja merupakan salah satu kelemahan utama pelatihan di alam bebas karena pengalaman di alam bebas sangat unik dan berbeda dari pengalaman bekerja sehari-hari (Buller, Cragun, & McEvoy, 1991). Kegiatan dan konteks alam bebas yang unik ini di satu pihak membantu peserta untuk merasa lebih bebas dari peran mereka sehari-hari sehingga mereka lebih berani melakukan hal-hal yang baru dibandingkan dengan pelatihan biasa di dalam kelas (Long, 1987). Namun di lain pihak, konteks alam bebas ini bisa menjadi terlalu berbeda sehingga hasil belajar tidak dapat ditransfer tanpa adanya bantuan tambahan.
Tidak adanya kemiripan fisik antara lingkungan pelatihan dengan lingkungan kerja disebut low physical fidelity dan hal ini bisa menganggu proses transfer hasil belajar yang spesifik. Dalam kasus pelatihan di alam bebas, di mana transfer yang diharapkan lebih bersifat tidak spesifik, low physical fidelity seharusnya tidak menjadi masalah besar, terutama jika fasilitator memberikan alat-alat bantu untuk memudahkan transfer hasil belajar ke situasi yang berbeda dari situasi pelatihan (Kehoe & Bright, 2003).
Alat-alat bantu yang banyak digunakan dalam konteks pelatihan di alam bebas adalah penggunakan metafora atau analogi. Transfer didasarkan pada kesamaan struktur dari dua problem, bukan kesamaan fisik (Kehoe & Bright, 2003). Long (1987) mengajukan adanya beberapa aspek dari kegiatan di alam bebas yang merupakan analogi dari kegiatan di tempat kerja, misalnya:
1. Dinamika kelompok: kerja sama dalam kelompok, komunikasi, saling mendukung antar anggota, kompetisi dengan kelompok lain, memanfaatkan sudut pandang yang berbeda untuk menyelesaikan masalah, dsb.
2. Tantangan dalam bidang manajemen: bagaimana mengelola kelompok yang selalu berubah, menetapkan tujuan bersama, risk management, dsb.
3. Keterbatasan lingkungan: anggota kelompok yang berada di lokasi yang berbeda-beda, keterbatasan sumber daya, sistem reward yang bersifat kompetitif, dsb.
4. Salah satu kendala utama dalam transfer analogi adalah individu seringkali terjebak pada apa yang tampak di permukaan dan sulit menemukan inti permasalahan. Hal ini disebut masalah kontekstualisasi dan pelatihan di alam bebas dapat menggunakan hal-hal berikut untuk mengatasinya (Kehoe & Bright, 2003):
5. Variasi kasus: Pelatihan di alam bebas yang baik tidak akan mengandalkan satu kegiatan saja untuk mencapai tujuan pelatihan tertentu, melainkan akan memanfaatkan beberapa kegiatan yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama. Misalnya, Galagan (1987) memberikan contoh kasus di mana tujuan pelatihan untuk ‘mengatasi rasa takut’ mula-mula diperkenalkan melalui kegiatan berjalan di jembatan tali dengan ketakutan fisik (takut jatuh) sebagai analogi untuk ketakutan di tempat kerja. Pada hari berikutnya, kegiatan lain pun diadakan dengan tujuan yang sama. Peserta diminta melakukan sesuatu yang kemungkinan besar akan ditertawakan oleh peserta yang lain, dan kali ini ketakutan psikologis (takut ditertawakan) yang menjadi analogi bagi ketakutan di tempat kerja.
6. Mencari skema secara aktif: Strategi ini kembali memanfaatkan sesi debriefing. Peserta diminta untuk secara aktif memberikan komentar mengenai bagaimana kesimpulan yang didapatkan dari suatu kegiatan dapat diterapkan di tempat kerja (Buller, Cragun, & McEvoy, 1991). Dengan cara ini, peserta diharapkan tidak lagi terpaku pada konteks kegiatan di alam bebas melainkan memahami adanya kesamaan antara kegiatan pelatihan dengan kegiatan di tempat kerja.
7. Solusi majemuk: Salah satu aspek lain yang cukup umum terdapat pada kegiatan pelatihan di alam bebas adalah tidak adanya jawaban pasti untuk masing-masing tugas yang diberikan. Dalam contoh menyebrangi rawa-rawa beracun yang telah disebutkan sebelumnya (Petrini, 1990), peserta bisa saja menciptakan jembatan gantung dari tali, menggunakan papan-papan sebagai jembatan, membuat rakit, atau menciptakan solusi lainnya selama masih memenuhi batas-batas yang diberikan fasilitator. Dengan demikian, peserta tidak terpaku mencari satu jawaban yang benar, dan dengan demikian diharapkan fokus pada kerja sama tim dapat dicapai.
8. Setelah peserta kembali di tempat kerja, bagaimana caranya mereka dapat ”mengingat” untuk menggunakan hasil belajar yang telah diperoleh di alam bebas? Banyak program pelatihan di alam bebas dilengkapi dengan cue yang akan membantu peserta mengubah materi pelatihan menjadi skema sehingga hasil belajar dapat segera diingat ketika situasi menuntut demikian (Kehoe & Bright, 2003).
9. Long (1987) memberikan contoh di mana retrieval hasil belajar dapat dilakukan dengan menggunakan cue yang sederhana seperti sepatah kata. Dalam contoh kasus yang diberikan, kata “spot” digunakan untuk mewakili kebutuhan individu untuk berhenti bekerja dan melakukan konsolidasi dengan anggota tim yang lain dengan tujuan meningkatkan kembali motivasi dan semangat kerja. Dalam kegiatan fisik, hal ini sangat relevan karena anggota tim bisa saja sewaktu-waktu berhenti dan minta “spot”. Anggota tim yang lain dapat memberikan bantuan yang dibutuhkan, entah berupa bantuan fisik (seperti bantuan mengangkat rekan yang harus memanjat pohon) atau bantuan psikologis. Ketika tim kembali ke tempat kerja, sebenarnya tidak ada tuntutan fisik untuk saling melindungi dan mendukung antar anggota tim. Namun, jika seseorang menyebutkan “spot”, anggota tim yang lain akan segera mengingat pentingnya saling mendukung antara anggota tim sehingga akan lebih mudah bagi mereka untuk memberikan dukungan psikologis yang dibutuhkan.
C. Evaluasi
Seperti juga metode pelatihan lainnya, keberhasilan atau kegagalan pelatihan di alam bebas hanya dapat diketauhi setelah diadakannya proses evaluasi. Sayangnya, banyak perusahaan tidak melakukan evaluasi untuk program pelatihan di alam bebas yang mereka adakan, walaupun biayanya bisa mencapai 2,000 USD per orang (Wagner, Baldwin, & Roland, 1991). Kalaupun evaluasi dilakukan, kebanyakan hanya berupa evaluasi pribadi dari peserta pelatihan, yang menurut model Kirkpatrick (Tovey, 1997) tidak reliable jika tidak digabungkan dengan evaluasi jenis lain. Persentasi penggunakan metode evaluasi berdasarkan survei yang dilakukan oleh Wagner, Baldwin, & Roland (1991) adalah sebagai berikut:
Evaluasi pribadi dari peserta
60%
Tidak ada evaluasi
45%
Program follow-up
10%
Evaluasi dari manajer
5%
Data objektif
2%
Menurut model Kirkpatrick, secara ideal seharusnya ada empat tingkatan evaluasi untuk program pelatihan; yaitu (Tovey, 1997):
Ø Tingkat reaksi: Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ini merupakan cara yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi pelatihan di alam bebas dan kebanyakan peserta akan memberikan rating yang sangat baik untuk jenis pelatihan seperti ini (Galagan, 1987; Petrini, 1990).
Ø Tingkat Pembelajaran: Penilaian biasanya dilakukan selama atau di akhir program pelatihan untuk memastikan bahwa peserta telah benar-benar mempelajari KSA yang baru. Namun, hal ini jarang sekali dilakukan pada pelatihan di alam bebas. Sesi debriefing merupakan satu-satunya sarana untuk memperoleh bukti bahwa para peserta telah memperoleh insight sesuai dengan desain dari kegiatan di alam bebas tersebut (Long, 1987).
Ø Perubahan perilaku atau ketrampilan: Tingkat ini berusaha mengukur perubahan yang terjadi setelah peserta kembali di tempat kerja. Roland (dalam Wagner, Baldwin, & Roland, 1991) menyebutkan adanya sebuah penelitian yang mengevaluasi transfer dari pelatihan di alam bebas ke tempat kerja untuk para manajer tingkat menengah. Para peserta pelatihan melaporkan bahwa setelah pelatihan, mereka berinteraksi secara lebih efektif baik dengan atasan maupun bawahan dan juga mereka dapat mengelola waktu dengan lebih baik. Para atasan dan bawahan mereka juga memberikan kesimpulan yang sama. Selain penelitian ini, beberapa ahli lain juga mendukung bahwa pelatihan di alam bebas memang benar-benar dapat menghasilkan perubahan di tempat kerja (Long, 1987).
Ø Tingkat organisasi atau prestasi kerja: Belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh pelatihan jenis ini pada organisasi secara keseluruhan. Banyaknya organisasi yang memilih menggunakan pelatihan jenis ini bisa menjadi indikasi bahwa organisasi-organisasi memiliki persepsi bahwa pelatihan di alam bebas bermanfaat bagi mereka (Wagner, Baldwin, & Roland, 1991).
Ø Walaupun jumlahnya terbatas, bukti-bukti sejauh ini tampaknya mendukung bahwa pelatihan di alam bebas merupakan tipe pelatihan yang cukup efektif. Namun hingga evaluasi yang lebih sistematis telah dilakukan, akan sangat sulit bagi kita untuk memutuskan ketrampilan kerja seperti apa yang paling efektif dikembangkan melalui pelatihan metode ini.


Bab.5. KONSEP UMUM
Ø Nilai
Sejumlah ahli ilmu pengetahuan yang tertarik dengan tingkah laku manusia, sejak lama telah tertarik dengan konsep nilai (mis, Kluckhohn, 1951; Allport, 1960; Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994; Feather, 1994, 1995). Kluckhohn (dalam Zavalloni, 1975) sebagai seorang antropolog, misalnya, sejak tahun 1951 telah mendefinisikan nilai sebagai :
“... a conception explicit or implicit, distinctive of an individual or characteristic of a group, of the desirable which influence the selection from available modes, means and ends of action.” (Kluckhohn dalam Zavalloni, 1975, hal. 75)
Isu penting yang menurut Zavalloni (1975) perlu diperhatikan dalam pemahaman tentang nilai adalah, nilai seseorang dapat sama seperti nilai semua orang lainnya, sama dengan sebagian orang, atau tidak sama dengan semua orang lain. Definisi Kluckhohn di atas menggambarkan bahwa nilai selain mewakili keunikan individu, juga dapat mewakili suatu kelompok tertentu. Hal ini mulai mengarah kepada pemahaman nilai yang universal. Dalam perkembangannya, Rokeach (1973) dengan tegas mengatakan bahwa asumsi dasar dari konsep nilai adalah bahwa setiap orang, di mana saja, memiliki nilai-nilai yang sama dengan derajat yang berbeda (menunjukkan penegasan terhadap konsep universalitas nilai). Namun penelitian yang paling komprehensif tentang nilai-nilai yang universal (dalam arti terdapat di mana saja di semua budaya) dimulai oleh Schwartz dan Bilsky (1987). Mereka mulai mencari nilai-nilai apa yang universal dari 44 negara dengan sampel di masing-masing negara berkisar antara 154 sampai dengan 542 orang. Teori nilai Schwartz (1992, 1994), walaupun masih berdasarkan teori sebelumnya dari Rokeach (1973), tapi menunjukkan perbedaan yang berarti. Teori nilai Schwartz dipilih dalam penelitian ini, memperhatikan kritiknya terhadap teori Rokeach yang banyak melakukan tumpang-tindih antara nilai satu dengan nilai lainnya (Schwartz, 1994), bahkan antara nilai terminal dan instrumental. Sedangkan Schwartz telah melakukan pengkategorisasian ke dalam sejumlah tipe nilai, dimana kategori tersebut telah teruji secara konseptual maupun statistik. Di samping itu, Schwartz juga telah menyusun struktur nilai-nilai tersebut secara spesifik dan komprehensif, sehingga nilai seseorang dapat ditempatkan ke dalam “peta” nilai. Berbeda dengan Rokeach yang menyebut nilai sebagai sistem, namun tidak terlalu banyak menjelaskan hubungan dan sifat dari sistem tersebut. Sedangkan dengan “peta” nilai, kita dapat melihat keterkaitan suatu nilai dengan nilai lainnya, sekaligus dapat menginterpretasi hubungan tersebut.

1. Pengertian Nilai (human values)
Untuk memahami pengertian nilai secara lebih dalam, berikut ini akan disajikan sejumlah definisi nilai dari beberapa ahli.
“Value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence.” (Rokeach, 1973 hal. 5)
“Value is a general beliefs about desirable or undesireable ways of behaving and about desirable or undesireable goals or end-states.” (Feather, 1994 hal. 184)
“Value as desireable transsituatioanal goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the life of a person or other social entity.” (Schwartz, 1994 hal. 21)
Lebih lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman tentang nilai, yaitu (1) suatu keyakinan, (2) berhubungan dengan cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.

Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk. Schwartz berpandangan bahwa nilai merupakan representasi kognitif dari tiga tipe persyaratan hidup manusia yang universal, yaitu :
1. kebutuhan individu sebagai organisme biologis
2. persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal
3. tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok (Schwartz & Bilsky, 1987; Schwartz, 1992, 1994).

Jadi, dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, Schwartz mengemukakan teori bahwa nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial (Schwartz & Bilsky, 1987). Ketiga hal tersebut membawa implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang diinginkan. Schwartz menambahkan bahwa sesuatu yang diinginkan itu dapat timbul dari minat kolektif (tipe nilai benevolence, tradition, conformity) atau berdasarkan prioritas pribadi / individual (power, achievement, hedonism, stimulation, self-direction), atau kedua-duanya (universalism, security). Nilai individu biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau disosialisasikan oleh suatu kelompok dominan yang memiliki nilai tertentu (misalnya pengasuhan orang tua, agama, kelompok tempat kerja) atau melalui pengalaman pribadi yang unik (Feather, 1994; Grube, Mayton II & Ball-Rokeach, 1994; Rokeach, 1973; Schwartz, 1994).

Nilai sebagai sesuatu yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang hanya ‘diinginkan’, di mana ‘lebih diinginkan’ mempengaruhi seleksi berbagai modus tingkah laku yang mungkin dilakukan individu atau mempengaruhi pemilihan tujuan akhir tingkah laku (Kluckhohn dalam Rokeach, 1973). ‘Lebih diinginkan’ ini memiliki pengaruh lebih besar dalam mengarahkan tingkah laku, dan dengan demikian maka nilai menjadi tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.

Sebagaimana terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk berubah. Karena nilai diperoleh dengan cara terpisah, yaitu dihasilkan oleh pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur psikologis individu (Danandjaja, 1985), maka nilai menjadi tahan lama dan stabil (Rokeach, 1973). Jadi nilai memiliki kecenderungan untuk menetap, walaupun masih mungkin berubah oleh hal-hal tertentu. Salah satunya adalah bila terjadi perubahan sistem nilai budaya di mana individu tersebut menetap (Danandjaja, 1985).


DAFTAR PUSTAKA

1. Reker, G.T. (1997). Personal meaning, optimism, and choice: Existential predictors of depression in community and institutional elderly. Vol.37, Iss. 6; pg. 709, 8 pgs. Diakses pada 3 Januari 2009, dari www.proquest.com
2. Schultz, D. (1991). Psikologi Pertumbuhan : Model-model Kepribadian Sehat. Yogyakarta : Kanisius
3. Siswanto, D. (2001). Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre. Yogyakarta : Philosophy Press
4. Wiebe, R.L. (2001). The Influence of Personal Meaning on Vicarious Traumatization in the Rapists. [Versi elektronik].